Lihat ke Halaman Asli

BUDIAMIN

K5 ArtProject

Perlukah Kurikulum Selalu Berubah?

Diperbarui: 21 Oktober 2024   21:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

doc. pribadi

Setiap kali posisi Menteri Pendidikan berganti, kita seakan-akan bersiap untuk menerima kurikulum baru. Seolah-olah pendidikan di Indonesia hanyalah sekedar eksperimen di tangan para pemimpin baru, yang ingin meninggalkan jejak mereka dengan kebijakan baru. Hal ini mengakibatkan pendidikan nasional selalu berada dalam keadaan "darurat penyesuaian". Sebuah fenomena yang tak jarang membuat guru, siswa, dan bahkan orang tua bingung dan kelelahan.

Mengapa selalu ada kecenderungan untuk mengganti kurikulum setiap kali pucuk pimpinan berubah? Apakah benar bahwa perubahan ini adalah solusi mutlak atas masalah pendidikan kita, atau justru menambah beban dan membuat sistem pendidikan semakin tidak stabil?

Perubahan yang Tak Pernah Tuntas

Bicara soal kurikulum, tampaknya kita sudah melewati berbagai bentuk kurikulum yang selalu berubah dalam beberapa dekade terakhir. Dari Kurikulum 1984 yang menekankan pada pendekatan proses, Kurikulum 1994 dengan fokus pada mata pelajaran, hingga Kurikulum 2013 yang mengintegrasikan kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Di antara semua perubahan ini, selalu ada satu kesamaan: kebingungan di lapangan.

Ketika kurikulum berganti, tak hanya guru yang harus belajar ulang sistem pengajaran, tetapi siswa juga menjadi korban. Mereka harus menyesuaikan diri dengan metode baru yang kadang tidak mereka pahami sepenuhnya. Misalnya, ketika peralihan dari Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) ke Kurikulum 2013 terjadi, guru-guru harus beradaptasi dengan modul-modul baru yang kadang masih belum jelas dan cenderung menambah beban administrasi.

Lebih buruknya lagi, perubahan kurikulum seringkali tidak diikuti dengan pelatihan yang memadai. Guru-guru harus berjuang sendiri untuk menafsirkan apa yang sebenarnya diinginkan oleh kurikulum baru. Akibatnya, praktik pengajaran di kelas seringkali menjadi tidak seragam, bahkan antara sekolah di kota besar dengan sekolah di pedalaman.

Kepentingan Politik dan Ideologi Pendidikan

Di balik perubahan kurikulum ini, ada faktor lain yang tak kalah penting: kepentingan politik dan ideologi. Setiap menteri datang dengan visi mereka sendiri, yang sering kali dipengaruhi oleh pandangan politik dan ideologi yang mereka anut. Misalnya, kurikulum yang menekankan pada "pendidikan karakter" atau "pendidikan digital" sering kali merupakan refleksi dari tren global atau isu-isu yang sedang hangat dibicarakan di tingkat nasional.

Namun, pertanyaannya, apakah kurikulum baru selalu relevan dengan kebutuhan riil siswa? Ataukah hanya sekadar bentuk lain dari pencitraan politik? Pendidikan semestinya berfokus pada kemajuan jangka panjang bangsa, bukan sekadar agenda jangka pendek dari pemerintahan yang sedang berkuasa.

Sebagai contoh, di beberapa negara maju, kurikulum pendidikan lebih bersifat stabil dan fleksibel. Mereka memprioritaskan kualitas pendidikan melalui peningkatan kapasitas guru dan kesejahteraan siswa, bukan dengan selalu mengubah sistem pengajaran. Jepang, Finlandia, dan Korea Selatan misalnya, tidak mengubah kurikulum mereka secara drastis setiap kali menteri baru diangkat. Sebaliknya, mereka fokus pada pengembangan kompetensi guru dan memperkuat fondasi pendidikan yang sudah ada.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline