Lihat ke Halaman Asli

BUDIAMIN

K5 ArtProject

Menunggu Sang Presiden

Diperbarui: 20 Oktober 2024   19:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

doc. pribadi

Di suatu sudut warung kopi yang biasa mereka datangi, Kobar, Kahar, Badu, dan Rijal duduk melingkar sambil menyeruput kopi hitam pekat. Pagi itu, langit kota mendung seperti suasana hati masyarakat yang resah menunggu pelantikan presiden baru. Bukan karena penasaran siapa yang bakal dilantik---itu sudah jelas---tapi lebih karena ketidakpastian yang terasa seperti kabut tebal di jalanan.

Kobar, seorang aktivis jalanan yang lebih sering berteriak daripada berpikir, membuka percakapan dengan nada khasnya, "Lama banget ya, nunggu pelantikan. Kayak nunggu diskon akhir tahun tapi barangnya nggak pernah datang."

Kahar, si pengamat politik yang sok tahu tapi selalu menyebut dirinya 'netral,' mengangguk bijak. "Ini semua karena sistem demokrasi kita sudah rusak. Kita bukan lagi memilih pemimpin, tapi sedang menunggu siapa yang paling ahli dalam merapikan kebohongan."

Rijal, dengan baju batiknya yang selalu rapi seperti politisi kampung, mengusap janggut tipisnya. "Tapi kan mereka sudah terpilih, apa lagi yang mau diributkan? Tinggal tunggu saja, semua bakal aman. Kita kan negara yang cinta damai."

Badu, yang sejak tadi sibuk memotong gorengan, akhirnya angkat bicara. "Cinta damai? Cinta damai apaan? Yang ada cinta damai di depan kamera, di belakang sibuk ngatur jabatan kayak kita ini lagi ngatur siapa yang bawa duit buat beli kopi!"

Kobar tertawa keras, sampai hampir tersedak kopinya. "Iya, iya! Benar tuh, Badu. Semua pada sibuk mau duduk di kursi empuk. Gila, mereka pikir jabatan itu kayak kursi di warung ini, bisa diambil sembarang orang!"

Kahar menyilangkan tangan di dada, wajahnya serius. "Ini bukan cuma soal kursi, Kobar. Ini soal siapa yang bakal kasih janji manis berikutnya. Yang jadi presiden, bakal punya tugas penting: memaniskan janji kosong."

Rijal yang terlihat gelisah menatap ketiga temannya. "Tapi kita ini bagian dari rakyat, masa cuma bisa mengeluh? Kita harus percaya sama proses demokrasi. Bukannya presiden baru selalu jadi harapan?"

Badu tertawa kecil sambil menggoyang-goyangkan gorengan di tangannya. "Harapan? Harapan itu kayak gorengan ini, selalu ada, tapi nggak pernah bikin kenyang!"

Kobar, yang dari tadi sibuk mengutak-atik ponselnya, tiba-tiba bersuara lagi. "Eh, kalian tau nggak? Baru baca berita tadi, katanya si calon presiden yang kalah mau bikin 'oposisi konstruktif.' Kalian tau nggak maksudnya apa?"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline