Lihat ke Halaman Asli

BUDIAMIN

K5 ArtProject

Makanan Rohani dan Perut Keroncongan

Diperbarui: 19 Oktober 2024   02:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

doc. pribadi

Di sebuah kampung yang damai, Kobar, Kahar, Badu, dan Rijal berkumpul di warung kopi sambil mengobrol santai. Malam itu, mereka membahas topik yang cukup serius namun penuh canda: *makanan rohani*.

Kobar, yang terkenal dengan pemikirannya yang dalam, memulai pembicaraan. "Teman-teman, kita sering mendengar istilah makanan rohani, kan? Itu penting, lho! Seperti membaca buku, mendengarkan ceramah, atau berdoa. Tapi, bagaimana dengan perut kita? Jangan sampai kita lupa makan!"

Kahar mengangguk setuju. "Iya, Kob! Makanan rohani memang penting, tetapi jangan sampai kelaparan, ya! Kemarin aku sampai terlambat menghadiri pengajian hanya karena terlalu asyik mendalami kitab suci. Tahu-tahu perutku keroncongan!"

Badu, yang dikenal humoris, langsung menimpali. "Hah, itu baru namanya salah fokus! Mungkin seharusnya ada pengajian dengan menu spesial, seperti nasi goreng rohani atau rendang kebajikan. Jadi, bisa makan sambil mendalami spiritualitas!"

Rijal yang biasanya pendiam, ikut tertawa. "Kalau gitu, kita bisa bikin komunitas 'Makan dan Berdoa'. Setiap pertemuan, kita bahas tema rohani sambil menyantap hidangan. Siapa yang tidak mau, coba?"

Kobar menggoda, "Tapi, Rijal, jangan sampai makanan yang disajikan tidak seimbang. Kita perlu makanan yang bergizi untuk jiwa dan raga. Mungkin ada yang bisa masak sayur-sayuran spiritual?"

Kahar menambahkan dengan serius, "Sebenarnya, makanan rohani itu bisa datang dari mana saja. Dari pengalaman sehari-hari, dari alam, atau bahkan dari orang-orang di sekitar kita. Asal kita mau belajar dan terbuka."

Badu kembali beraksi. "Iya, tapi kalau perut sudah keroncongan, sulit untuk fokus! Aku pernah mencoba berdoa saat perut kosong, eh malah lebih khawatir kapan makanan datang!"

Rijal menyela, "Kadang, kita perlu menyelaraskan antara makanan fisik dan makanan rohani. Jangan sampai kita terjebak dalam rutinitas hingga lupa merawat diri sendiri. Hidup ini perlu seimbang!"

Kobar tersenyum lebar. "Benar, Rijal! Mungkin kita bisa adakan acara rutin, misalnya, 'Malam Makanan Rohani'. Kita bisa berbagi resep masakan yang enak sekaligus mendalami tema spiritual."

Kahar setuju. "Dan kita bisa mengundang ustaz atau guru untuk berbagi pengalaman. Siapa tahu, makanan yang mereka bawa bisa jadi inspirasi bagi kita semua!"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline