Di sebuah desa kecil yang sejuk, Kobar, Kahar, Badu, dan Rijal adalah sahabat yang tak terpisahkan. Mereka biasa menghabiskan waktu di warung kopi, berbagi cerita, dan bergurau. Namun, suatu sore, suasana terasa berbeda. Kobar tampak gelisah, berulang kali memeriksa ponselnya.
"Eh, Kobar! Kamu kenapa? Seperti orang nunggu pacar yang telat janji!" Badu menggoda.
"Ah, tidak ada apa-apa," jawab Kobar, tetapi raut wajahnya tidak bisa menyembunyikan kegelisahan.
Kahar, yang lebih peka, langsung bertanya, "Ada masalah dengan Mira, kan? Kita tahu kalian baru-baru ini sering berdebat."
Kobar menghela napas. "Iya, kita memang sering tidak sejalan belakangan ini. Aku merasa kita sudah mulai jauh."
"Jauh? Kapan?" tanya Rijal penasaran. "Kan kalian baru saja liburan bareng?"
"Iya, tapi setelah itu, semua terasa berbeda. Kita tidak bisa sepakat tentang banyak hal. Dari mulai memilih film hingga merencanakan masa depan," Kobar menjelaskan.
Kahar mencoba memberikan perspektif. "Mungkin itu cuma fase. Setiap pasangan pasti punya masa-masa sulit. Coba bicarakan dengan Mira, mungkin kalian bisa menemukan jalan tengah."
"Bicara? Sudah! Tapi setiap kali aku bilang sesuatu, dia selalu merasa disalahkan. Rasanya seperti berjalan di atas telur!" Kobar menggerutu.
Badu, yang selalu optimis, menambahkan, "Coba ingat kenapa kalian jatuh cinta. Mungkin kalian hanya butuh waktu untuk saling mendengarkan."
Kobar menggeleng. "Tapi bagaimana kalau ternyata kita tidak lagi punya tujuan yang sama? Aku merasa terjebak di satu tempat yang sama."