Di sebuah desa yang tenang, terdapat empat sahabat: Kobar, Kahar, Badu, dan Rijal. Mereka sering berkumpul di warung kopi sambil berdiskusi tentang segala hal, terutama tentang kebiasaan mereka masing-masing. Suatu sore, Kobar mulai mengeluh tentang kebiasaan buruk orang pintar.
"Teman-teman, kalian tahu tidak? Banyak orang pintar di desa ini yang justru punya kebiasaan buruk!" Kobar mengeluh sambil menyeruput kopinya.
Kahar, yang selalu kritis, mengangguk. "Ya, aku setuju! Sepertinya orang pintar itu sering kali menganggap diri mereka lebih baik dari yang lain. Mereka suka memamerkan pengetahuan mereka."
Badu, yang baru bangun dari tidur siangnya, ikut bersuara. "Tapi bukankah itu wajar? Mereka kan pintar! Mereka punya hak untuk pamer!"
Rijal, yang optimis, menambahkan, "Tapi terlalu banyak pamer itu jadi kebiasaan buruk. Aku pernah mendengar seseorang yang bisa menjawab semua pertanyaan, tetapi ketika dia diminta untuk membantu, dia malah malas!"
Kobar mengerutkan kening. "Iya! Contohnya, si Joni. Dia bisa menghitung dengan cepat, tapi saat ada yang meminta bantuannya, dia bilang, 'Maaf, aku sibuk.'"
Mendengar ini, Kahar tertawa. "Ya, dia menganggap bahwa menjadi pintar itu cukup, padahal membantu orang lain itu juga penting!"
Badu mengangguk setuju, tetapi sambil menguap. "Lalu, apa yang harus kita lakukan? Apakah kita perlu membuat kampanye untuk mengubah kebiasaan mereka?"
Rijal berkata, "Bagaimana kalau kita buat tantangan? Kita ajak mereka semua untuk berbagi pengetahuan tanpa pamer, dan membantu sesama tanpa merasa superior!"
Kobar bersemangat, "Ayo kita lakukan! Kita buat acara 'Berbagi Pintar Tanpa Pamer' di lapangan desa! Kita bisa mengundang orang-orang pintar untuk berbagi ilmu mereka."