Sikap sombong bisa muncul dari berbagai bentuk---kepintaran, kecantikan, atau bahkan status sosial. Namun, salah satu yang paling mencolok dan paling sering kita lihat adalah kesombongan yang lahir dari strata sosial. Orang yang merasa lebih tinggi secara status sering kali memandang rendah orang lain yang dianggap berada di bawah mereka. Fenomena ini seakan menjadi penyakit sosial yang merambat di berbagai kalangan, baik di lingkungan perkotaan, pedesaan, hingga dunia kerja.
Mengapa kita menjadi sombong hanya karena kita berada di "lapisan atas" masyarakat? Apakah status sosial memang memberikan hak untuk merendahkan orang lain, ataukah sebenarnya kesombongan ini hanya mencerminkan ketidakamanan dan kekosongan dalam diri kita?
Kekuatan dan Kerapuhan di Balik Status Sosial
Strata sosial, bagi sebagian orang, seolah menjadi jubah tak kasat mata yang mereka pakai ke mana-mana. Semakin tinggi status sosial seseorang, semakin kuat jubah itu terasa. Kekayaan, jabatan, atau koneksi yang luas sering kali menjadi dasar seseorang untuk merasa bahwa mereka lebih berharga daripada orang lain. Ada anggapan bahwa dengan memiliki semua ini, mereka layak diperlakukan istimewa dan berhak melihat orang lain dengan sebelah mata.
Namun, di balik jubah kekuatan itu, ada kerapuhan yang tak terlihat. Orang yang sombong karena strata sosial biasanya merasa perlu mempertahankan gambaran kekuasaan dan status tersebut, karena itulah yang mendefinisikan mereka.
Jika status mereka diragukan atau runtuh, mereka kehilangan identitas. Ini menjelaskan mengapa mereka sering kali berusaha keras untuk menjaga jarak dari mereka yang dianggap berada di strata sosial lebih rendah---sebagai bentuk perlindungan diri dari ketakutan yang tak terlihat.
Sikap Sombong: Memperlebar Kesenjangan Sosial
Ketika kesombongan karena strata sosial muncul, ia bukan hanya berdampak pada hubungan interpersonal, tetapi juga memperlebar kesenjangan sosial. Orang-orang dengan kekuasaan dan privilese sering kali menciptakan batas-batas yang tak kasat mata, memisahkan diri dari orang-orang yang mereka anggap tidak setara. Hal ini memperparah kesenjangan yang sudah ada dan menciptakan perpecahan dalam masyarakat.
Banyak yang berpikir bahwa status sosial yang tinggi adalah tanda keberhasilan atau prestasi pribadi, sehingga merasa pantas menganggap diri lebih baik dari orang lain. Padahal, dalam banyak kasus, status sosial bukanlah sesuatu yang sepenuhnya kita usahakan sendiri.
Faktor-faktor seperti kelahiran, lingkungan, atau peluang hidup sering kali memengaruhi di mana kita berdiri dalam hierarki sosial. Menggunakan status tersebut untuk merendahkan orang lain sama saja dengan menolak realitas bahwa kita semua, pada dasarnya, terhubung dan bergantung satu sama lain.