Lihat ke Halaman Asli

Media Partner

news, event and education

Hujan dan Kopi

Diperbarui: 1 November 2019   17:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dok. pribadi

Siang ini mendung mulai menggelapi Jakarta, terutama sekitar Kp. Rambutan. Nampaknya tinggal menunggu air jatuh membasahi bumi. Air itu benar benar jatuh. Air yang selalu di rindukan oleh bumi, tanah yang merangas terpanggang matahari berbulan bulan, dalam gersang yang hebat.

Kegersangan itu juga sudah menular dan mempengaruhi penghuninya, manusia di Jakarta yang cenderung marah, gelisah dengan tensi cukup tinggi sebagai indikator sisi kejiwaan yang stres akibat beban kehidupan dan terik matahari yang menyatroni kehidupan mereka dalam kesehariannya.

Aku baru masuk ke sebuah lapak Coffe di daerah sekitar TMII karena ada pertemuan dengan sahabat dalam berpikir, sang Essays Riki Dhamparan Putra. Sambil menunggu kedatangannya aku menikmati Coffe yang sebenarnya tidak cocok dengan perut ku. Tetapi hujan menjadikan Coffe itu masuk ke perut dengan damai dan hujan itu juga yang membuat siang ini menjadi unik dan berbeda. Sebuah kebahagiaan dalam regukkan kesederhanaan berpikir dan merasa. Itu yang sering hilang dari manusia yang hidup di era modern, menjadi bahagia dengan suasana dan cara yang sederhana.

Di bagian setiap pojoknya dan sedikit di tengah kedai Coffe itu, ada beberapa orang sedang bekerja dan berbicara. Sebuah pemandangan lazim yang mudah dijumpai dalam kehidupan super kosmopolitan di Jakarta. Orang bekerja dan melakukan pertemuan bisnis atau sekedar bengong di kedai semacam ini. Sementara hujan tengah menemukan kesenangannya untuk mencurahkan dirinya kepada bumi, sebagaimana aku mencurahkan diriku kepada Fb dalam bentuk tulisan ini. Kesenangan yang mengasyikkan dan memberi ketenangan.

Aku mengintip hujan turun melaui pintu dan celah tirai yang menutup sebagian kedai itu. Melihat air hujan yang turun silih berganti dan seolah tanpa henti, seperti melihat kehidupan yang dialami dengan semangat untuk terus berlari, membentuk kehidupan hari ini agar bisa berkelindan dengan masa depan. Kita adalah bidak bidak yang berpikir, agar harmoni dalam jiwa menemukan keseimbangan. Sesuatu yang sering hilang dalam jiwa manusia modern. Kita menari dalam kehidupan sebagaimana air hujan menari dalam hujan. Air menemukan ritme yang membuncah menghujam aspal jalanan, dan kita menari membentuk rantai problema yang selalu berupaya kita cari jalan ke luarnya.

Air hujan selalu menimbulkan dan membangkitkan kembali kenangan lama bersama ayah dalam tahun tahun awal memeluk kehidupan. Ternyata itu sudah 37 atau 38 tahun lampau di Tg. Priok. Hujan itu tetap hujan yang sama tetapi waktu dan suasananya berbeda. Bersyukurnya, aku masih bisa mengingat dan memiliki ingatan untuk menghadirkan ritual waktu itu dengan cukup jernih dan melankolis.

Semoga ayah tentu juga mamah damai dan bahagia dalam ridho Allah, demi melihat anaknya masih juga menggeluti kehidupan di usia menjelang menua... Aamiin ya Allah...

Disalin dari status facebook Desvian Bandarsyah (1 November 2019)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline