Nggak jualan, ya nggak makan!
Gerimis dari sebelum Subuh sudah reda. Hangat matahari menembus awan kelabu.
Terdengar suara, "Sayur, sayuur, sayuuur ...!"
Bukan mamang-mamang sayur yang biasa berkeliling di sekitar pemukiman, melainkan seorang perempuan menjinjing keranjang berwarna merah. Isinya, sayur dan lauk matang dalam kemasan plastik.
Sekalipun bagus untuk ilustrasi, saya tidak akan pernah sampai hati mengambil foto perempuan umur 28 tahun, yang berkeliling menawarkan makanan matang, sambil menggendong bayi 12 bulan ditemani anak lelakinya usia 4 tahun.
Mereka bermukim di rumah warisan orangtuanya, yang terletak di bantaran kali sekitar Bubulak Kota Bogor. Kadang saya melalui wilayah itu saat olahraga jalan kaki pagi.
Setelah ditanya dengan penuh timbang rasa ia menerangkan, berjualan demi mencari nafkah agar mereka bisa bertahan hidup, sebab ditinggalkan pasangannya. Suami bukan ke luar daerah mencari penghasilan, atau sudah berpulang. Bukan itu!
Lebih dari tujuh bulan suaminya kembali bermanja-manja dalam timangan emaknya di Citeureup, Kabupaten Bogor. Dua puluh kilometer dari tempat tinggal semula.
Ya! Laki-laki yang seharusnya bertanggung jawab mencari nafkah untuk keluarga pergi meninggalkan istri dan dua anak masih kecil.
Menurut penuturan perempuan penjual masakan, lelakinya tidak bekerja. Tidak mau bekerja. Alasannya, ia enggan berbagi penghasilan untuk istri dan anak-anaknya.
Apa pun latar belakangnya, pria berani menikah tentunya siap bertanggung jawab atas kehidupan anak dan istri sah. Maka, tidak mau menyerahkan penghasilan kepada keluarga adalah alasan sulit diterima akal.