Joni penyuka mesin bertenaga, sangat bertenaga, demikian bertenaga, sehingga ketika pedal diinjak habis menyentuh lantai mobil, maka sebuah bodi ringkih dapat mengasapi kendaraan darat keluaran tahun lebih muda.
Bukan tidak mau, atau tidak mampu, meskipun ia harus menguras isi kantong dan tabungan di bank, ditambah sedikit berutang kepada teman baiknya, menebus mobil sport buatan Jepang yang dari pabriknya sudah dirancang agar mampu berlari kencang, jauh lebih kencang daripada kendaraan umumnya yang melaju mulus di jalan bebas hambatan.
Itu dirasa tidak ada tantangan bagi Joni, pria mendekati usia empat puluh tahun yang masih butuh pengakuan.
Ia tidak bisa membayangkan, memperlakukan mobil tua secara hormat. Menginjak hati-hati pedal gas, dan melajukannya bagaikan angin sepoi-sepoi yang, bahkan, tidak bakal merusak tatanan rambut wanita baru keluar dari salon.
Tidak menghentaknya dan membuat mesinnya menjerit kelelahan, lalu menerbangkannya bagai angin topan melanda pohon hingga tumbang. Tidak begitu.
Harus diawet-awet, karena hal demikian akan membuat kendaraan mejadi pajangan belaka di garasi, yang dipanaskan seminggu sekali itu. Atau, kalau bosan bolehlah dijual ke tukang kampak mobil-mobil tua di Parung [1].
Pada satu sore yang cerah Joni pulang mengendarai sebuah mobil yang pada zamannya lumayan populer. Bukan untuk pajangan, apalagi dikilo, melainkan dan tidak bukan untuk diremajakan biar bisa petantang petenteng di jalanan.
Saat membelinya, mesin masih standar, ia mesti hati-hati memperlakukanya. Kalau tidak, bila digeber maka dalamannya terkikis, mengeluarkan asap putih, diikuti dengan tanggalnya mur dan baut baut serta selang-selang satu demi satu.
Kemampuan pengereman? Butuh kesabaran. Joni harus menjalankan mobil secara perlahan, pedal rem diinjak, tapi besi tua itu enggan berhenti dengan segera.
Caranya, ya itu, harus melaju lamban betul, mengerem dengan menurunkan gigi persneling, mengocok pedal berkali-kali agar hidrolik bekerja menghentikan kendaraan