Dari ketinggian 25 meter, ujung dataran memuntahkan air. Energi kinetik dari kurang lebih 600 liter per sekon menghantam permukaan dataran bawah.
Air berton-ton selama bertahun-tahun berdebur melubangi lapangan di bawahnya sehingga membentuk ceruk. Limpasannya mengikis tanah menjadi memanjang yang mengalirkan air melalui lembah, desa-desa, perkotaan, hingga terbebas di laut di Selatan.
Di sekitar kedung terdapat batu-batu dengan permukaan licin bagai diasah dan berkilauan ketika ditimpa sinar rembulan. Tempat aman bagi pengunjung untuk memandang keindahan alam.
Jeram membentuk lingkaran-lingkaran. Makin jauh permukaan makin tenang, meskipun di bawahnya arus deras berpusar dan menyedot. Lokasi tampak menyeramkan dan tidak ada orang mau menjamahnya.
Syahdan, warga setempat berkisah. Pada masa yang telah lampau tersebutlah seorang gadis patah hati. Ia mengakhiri hidupnya dengan terjun ke kedung. Tubuh sang gadis berputar-putar, tersedot arus tanpa dapat ditemukan mayatnya.
Sejak itu, pada malam-malam tertentu terdengar sayup-sayup ratapan berbaur dengan gemeretak dahan pohon-pohon besar di sekelilingnya.
Konon, arwah penasaran meratap dan mengajak siapa saja yang berani menceburkan diri ke air. Kepada pengunjung, warga selalu mengingatkan agar tidak berenang. Bakal terseret arus. Kalau memandang keindahan dari tepi sambil duduk di bebatuan, boleh.
"Curug Ratapan", kata warga, "datang ke sini jangan dengan pikiran kosong. Terpenting, jangan berenang!" (Bahasa Sunda, curug artinya air terjun).
Para pecinta alam kawakan biasanya mematuhi peringatan. Mereka menikmati kehidupan tetumbuhan, keindahan suasana, dan debur dalam gigil. Mengenyam alam damai, yang berbeda dengan hiruk-pikuknya kota.
***