: Tanah Abang Jakarta Pusat, Mendekati Akhir Ramadan
Seorang laki-laki tergelimpang. Badan babak belur dicampakkan ke bak belakang kendaraan kabin ganda warna abu-abu batu.
Tubuh ringkih bau tengik diinjak beberapa pasang lars pria-pria berseragam bukan loreng, agar tidak melarikan diri.
Betisnya beku, lantaran satu peluru merobek otot.
Laki-laki itu pasrah. Pikirannya terbang ke rumah, memandang tanpa daya anak dan istrinya merintih lirih.
Sebab itu yang mendorong dirinya terdampar di pusat keramaian kota. Mencari penukar barang sebungkus nasi hangat dan tempe.
Takada hasil. Semua orang tampak tergesa-gesa atau tunduk memandang layar kecil, mengabaikan bahwa ada seorang laki-laki menadahkan tangan.
Hingga semua berubah secara menyeluruh. Dramatis. Histeris.
Ia melihat sebuah benda kecil, cokelat, persegi, terbuat dari kulit imitasi tergeletak di tempat orang berjalan kaki. Sejumlah lembaran merah mencuat dari lipatan. Membuat mata siapa saja yang melihat menjelma hijau.
Sayangnya semua orang tampak tergesa-gesa atau tunduk memandang layar kecil. Hanya ia seorang yang menyadari keberadaanya.
Sebentar kemudian laki-laki itu menghampiri. Kepala memutar kanan kiri. Memastikan sekali lagi. Merendahkan badan. Memanjangkan lengan.