Kala jalan kaki pagi beberapa hari lalu. Titik-titik air berjatuhan. Gerimis makin rapat. Mendung buyar menjelma hujan rintik-rintik.
Saya segera masuk ke sebuah bangunan. Berteduh dan duduk di bangku kayu.
Di hadapan tampak gerobak panjang. Tertata pentol, kikil, daging, mi kuning dan putih, irisan kubis, sawi (caisim), tauge, serta bahan-bahan lain pada kotak bersekat, berjendela, dan berpintu kaca.
Di sebelah kiri tampak belanga mengepulkan uap kuah bakso. Di bagian kanan dandang berisi kaldu soto. Ternyata sebuah warung soto mi Bogor yang juga menjual bakso!
Pas banget. Pagi dingin cocok betul menyantap hidangan berkuah nan hangat. Berkecamuk pikiran, memesan atau tidak?
Riwayat kolesterol tinggi dalam tubuh berperang dengan rasa tidak enak berlama-lama di kedai tersebut. Sekalipun sekarang sudah normal, saya agak mengkhawatirkan kenaikan akibat mengonsumsi makanan mengandung lemak.
Kemudian rasa tidak enak hati yang bersekongkol dengan cuaca dingin menaklukkan kebimbangan.
Ketika keraguan sudah hilang, muncul percabangan dalam pikiran: pesan bakso atau soto mi?
Bakso? Terlalu mainstream. Memang sih, sesekali saya mencuri kesempatan makan bakso. Tidak sering, tetapi lumayan hafal tentang kelezatannya.
Soto mi? Saya menjajal soto mi Bogor hanya beberapa kali sebelum sakit. Itu pun jarang. Amat jarang.