Sebagian orang mengganggap background checking melalui media sosial tidaklah elok. Sebagian menganggapnya wajar.
Pertengahan tahun 2009 membuat akun Facebook. Itu awal keterlibatan saya dengan media sosial.
Berikutnya, entah tahun berapa, membuat akun Twitter, LinkedIn, Instagram. Tidak terlalu aktif di aplikasi tersebut, mengingat saya tidak terlalu menikmati "cara mainnya".
Lebih tertarik dengan Facebook. Jejaring sosial tersebut menghubungkan teman-teman lama, yang tidak saya miliki nomor teleponnya.
Tidak hanya itu, layanan itu meluaskan pertemanan ke lingkungan teman dari teman dan seterusnya.
Termasuk lingkaran pertemanan dengan Kompasianer yang memiliki akun FB. Pada tahun 2011 ikut membentuk grup di FB, berisikan para Kompasianer.
Belakangan saya mulai aktif di Twitter dan Instagram (juga Threads). Umumnya media sosial saya gunakan untuk membagikan tautan artikel Kompasiana.
Jadi saya menggunakan media sosial agar terhubung dengan lingkaran pertemanan, sesekali menunjukkan bahwa saya "masih hidup", berbagi (tepatnya: membagikan) tautan, dan untuk tujuan bersenang-senang.
Sebelumnya saya tidak berpikir bahwa jejaring sosial dapat menjadi Background Check Medsos bagi recruiter. Siapa juga yang mau merekrut senior seperti saya?
Bukan berarti mesti jaim atau berlebih-lebihan dalam berekspresi di medsos.