Berhubung akan mengganti kartu, pada Senin pagi saya menemui Layanan Pelanggan sebuah bank pelat merah.
Selama proses penggantian ia bertutur santun dan menyenangkan dari balik wajah manisnya. Tak terasa urusan selesai. Lebih cepat daripada waktu tunggu antrean.
Satu hal menarik, ia mengaku pindahan dari Semarang (jangan-jangan bertetangga dengan mbak Wahyu Sapta). Sontak rasa kesal menghantam ingatan, sehingga wanita itu menjadi sasaran keluh kesah.
Begini kira-kira curhat saya kepada wanita berwajah pualam tersebut.
Sekitar tahun 2001 atau sesudahnya saya berada di Kota Lumpia untuk satu pekerjaan. Menggarap sistem pelayanan dan pengelolaan kitchen (menu, standard recipe, inventory, dan lainnya), sebuah tempat bagus empat tingkat di Semarang bagian atas.
Imbalannya lumayan. Masalahnya, pemilik sangat tricky. Tidak cengli (sikap jujur dalam bisnis).
Dengan segala tipu daya sang pemilik, yang juga pengusaha mebel, tidak melunasi sisa pembayaran jasa. Pekerjaan sudah mencapai titik akhir, namun pria lajang tersebut enggan memenuhi kewajiban dengan berbagai dalih.
Pengingkaran berhenti pada sengketa berlarut-larut. Pun membuat saya mulas, mengingat sisa pembayaran cukup besar. Bahkan untuk ukuran saya saat ini.
Lama setelah kejadian tak terlupakan itu, saya akui tidak cermat menyusun kontrak. Terlalu sederhana untuk akhir rumit yang buruk.