Lihat ke Halaman Asli

Budi Susilo

TERVERIFIKASI

Bukan Guru

Ketika Sekolah Hanya untuk Warga Mampu

Diperbarui: 3 Mei 2023   17:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar anak sekolah oleh Ramadhan Notonegoro dari Pixabay

Tanggal 1 Syawal 1444 Hijriyah. Hari pertama Idulfitri keluarga besar berkumpul. Makan hidangan lebaran. Bersilaturahmi. Sebagian melampiaskan rasa rindu satu sama lain setelah lama tidak bertemu.

Di tengah kegembiraan, anak gadis saya berseru, "Regina lewat di depan rumah. Lucu, pakai pita rambut warna kuning. Panggil ya?"

Tanpa menunggu persetujuan, ia menjemput gadis kecil itu. Membawa ke meja besar di mana terletak beragam hidangan lebaran.

"Makan ya? Pasti belum sarapan. Ketupat pakai rendang atau opor? Atau campur?"

Regina hanya tersenyum. Ia tinggal di rumah kontrakan. Maksudnya, rumah dengan deretan kamar yang masing-masing berukuran 2X5 meter persegi atau lebih sedikit.

Penyewanya biasanya pekerja informal. Tinggal sendiri ataupun bersama keluarga. Regina tinggal bersama bapak, ibu, dan kakaknya. 

Bapaknya bekerja serabutan. Kadang para tetangga menggunakan tenaganya untuk membetulkan genteng atau memangkas rumput halaman. Di luar itu tidak diketahui persis pekerjaan sesungguhnya.

Usianya kira-kira 9-10 tahun. Putus dari sebuah sekolah swasta di kelas 3 SD. Katanya, tidak ada bangku.

Seorang kerabat berbisik, sebetulnya bapaknya gagal memenuhi kewajiban membayar biaya ulang ketika kenaikan kelas. Tidak mampu membeli bangku! Terinformasi, sekolah swasta tersebut juga memungut iuran SPP agar pendidikan berlanjut.

Kakaknya, gadis berusia 13 tahun, juga putus sekolah atau tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan menengah (SMP).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline