Surat untuk kampung halaman kesatu. Lho, ada dua tulisan atau dua kampung halaman?
Begini. Negeri asal bagi saya adalah tanah di mana diri ini berakar. Pertama, orangtua turun dari keluarga di Bangkalan, Madura. Kedua, saya lahir dan besar sampai kelas 1 SMA (X) di Kota Malang.
Dah, cukup sampai situ penjelasannya. Ntar kepanjangan.
Saya Ulangi, Surat untuk Kampung Halaman Kesatu
Ada banyak kenangan tidak sempat dipendam, terbang seiring menanjaknya usia.
Saya mengingat penganan yang meninggalkan tidak hanya cecap di lidah, juga kenangan di hati. Tidak ada yang bisa diprioritaskan. Semuanya maknyus, kata Bondan Winarno.
Setelah subuh, antre di penjual bubur nasi. Bukan bubur seperti umumnya di sini. Bubur digelar dalam wadah terbuka yang besar. Menyerok darinya, umpan tekak itu dipincuk.
Menyantap bubur tanpa taburan apa-apa itu, bahkan tidak sepotong bawang goreng, dengan sendok daun pisang adalah menikmati hangatnya kelezatan tiada banding.
Melanjutkan jalan-jalan ke Pecinan atau alun-alun menjumpai pedagang Nase (nasi) Serpang. Semacam nasi uduk atau nasi kucing dengan tujuh macam lauk ukuran mini. Tongkol, telur asin, pepes/pais udang, jengkang* dan lupa lagi. Sambelnya, juara banget!
*sejenis kepiting kecil. Hidup di tambak dan hanya ada di bulan purnama.
Pukul 10.00 WIB pulang ke rumah Nenek dan Kakek sudah ditunggu pedagang gendong. Sate lappa merah. Dimakan dengan ketupat, daging sapi bakar dengan bumbu merah (warna dari cabai) menyajikan rasa yang tiada padanan.
Siang menyantap rujak cingur di tikungan. Campuran sayur, mentimun, kedondong, bengkuang, mangga muda, tahu, tempe, dan cingur diaduk dengan bumbu kacang diulek, pisang batu, dan petis ikan. Terasa asin gurih, berbeda dengan rujak cingur Malang yang lebih manis karena penambahan petis udang.