Lihat ke Halaman Asli

Budi Susilo

TERVERIFIKASI

Bukan Guru

Pulang ke Kampung Halaman Terakhir yang Paling Sejati

Diperbarui: 25 April 2023   17:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar oleh Gerd Altmann dari Pixabay

Beragam alasan untuk pulang ke kampung halaman. Merindukan tempat kelahiran, rumah orangtua, masakan ibu, makanan khas daerah asal, teman-teman masa kecil dan sekolah, tempat-tempat berkesan, dan seterusnya.

Bisa juga pulang kampung berarti pulang yang sebenar-benarnya pulang. Kembali ke mula penciptaan sejati. Merindukan kebahagiaan terakhir karunia Sang Pencipta.

Pada hari pertama Idulfitri, pukul 9.30 WIB saya bersua teman sekolah. Jaelani bin Badri tampak lemah, kurang semangat, dan pucat. Biasanya gagah bersuara lantang ketika menyapa.

Pria tersebut dulunya satu SMA, tapi beda lokasi. Sebab keterbatasan ruang, waktu itu jurusan IPA dan IPS terpisah sejauh 4 kilometer. Lokal IPS di Baranangsiang Kota Bogor (sekarang menjadi SMAN 3). IPA di jalan Mantarena (sekarang menjadi SMAN 9 Kota Bogor).

Anak IPA cenderung segan dengan siswa Baranangsiang. Beberapa amat "galak" terutama Jaelani. Kawan-kawan menghindar bila berjumpa dengannya. Npeper. Suaranya membahana bak orang membentak. Khawatir ditampol pula!

Saya anak baru. Maksudnya, siswa pindahan dari Kota Malang yang masuk di kelas 2 (XI). Itupun terlambat bergabung. Lebih dari sebulan setelah pelajaran dimulai saya masuk kelas.

Jadi saya tidak mengerti adanya geliat perang dingin antara murid-murid beda jurusan. Pun tidak tahu kalau Jaelani merupakan jagoan paling ditakuti.

Tahun 1982 umumnya anak sekolah berangkat dan pulang dengan berjalan kaki. Mereka yang rumahnya jauh biasanya diantar. Anak orang berada (misal: anak dari pegawai pajak, aparat kejaksaan, petugas bea cukai) membawa sepeda motor bahkan mobil.

Satu ketika saya berjalan kaki bersama teman-teman. Di jalan depan sebuah markas tentara berjumpa Jaelani. Dengan suara "menggelegar" (kata peghalusan dari "membentak") menanyakan berbagai hal. Rasanya tak elok bila dibabarkan di sini.

Ciut perasaan teman-teman. Gemetar. Minggir. Menghindari kemungkinan timbulnya masalah. Namun saya menyapa dengan nada biasa tanpa merasa gentar.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline