Bulan Ramadan yang indah. Betapa asyik jalan-jalan pada sore cerah, sambil ngabuburit menunggu waktu magrib. Berjajar pedagang makanan minuman di bahu jalan, atau di ruang, yang kerap dikunjungi khalayak pemburu takjil.
Aneka makanan sukses menerbitkan air liur orang-orang yang lambungnya kosong. Warna-warni minuman gagal disembunyikan oleh titik-titik embun menempel di kemasan. Kerongkongan kerontang.
Para pedagang menyusun beragam gorengan, risoles, cendol, bubur sumsum, kolak, kue basah, es campur, dan sebagainya.
Di tempat lain terhampar butiran kelapa muda dan wadah berisi es dawegan. Belum lagi penjual yang menyediakan makanan seperti mi bihun goreng, mi glosor, buras (lontong isi), sayur dan lauk matang.
Meriah menggoda. Jika tidak ditahan-tahan, tangan bisa bolak-balik merogoh kantong demi membeli segala yang disukai mata.
Tidak! Saya mengambil sedikit barang untuk menebus rasa kangen terhadap perburuan jajanan pembuka. Hanya membeli mi glosor dan kelapa muda tanpa es dan sirup. Cukup.
Bukannya tidak ingin membeli yang lain, tetapi saya mengingat kondisi diri. Selain menyangkut kesehatan, menahan ingin terhadap aneka makanan juga berkaitan dengan adab berpuasa.
Diriwayatkan bahwa adab berpuasa dapat menentukan kualitas ibadah puasa seseorang. Sebagaimana nasihat Imam Al-Ghazali, agar makan makanan yang baik sebagai salah satu dari enam adab berpuasa (selengkapnya diterangkan di sini).
Mengonsumsi makanan yang baik berarti menyantap makanan halal. Pun tidak mesti mahal, tetapi baik bagi kesehatan.