Hanya ada dua tipe wanita: cantik dan sedap dipandang mata. Pada keberagaman bakso pun hanya ada dua cita rasa: sedap dan sedap banget.
Langit pagi mendung. Udara dingin menyergap. Seseorang tampil cantik mengajak sekumpulan ibu-ibu muda sedap dipandang mata, untuk makan bakso di seberang.
Terlihat gerobak di pinggir jalan. Di kotak kayu beroda terdapat tumpukan mangkok, botol saus dan kecap, serta stock pot (panci besar/buleng) isi kaldu dan bulatan daging. Terpal oranye disangga tiang-tiang baja ringan menahan panas terik dan hujan. Terbaca tulisan Bakso Bening Mang Jaja.
Aha! Sudah lama saya tidak menyantap bakso bening.
Tahun 1980-an saya mengenalnya saat makan sup kuah dengan bulatan daging cincang dan babat. Bakso bening babat khas rumah makan seberang Vihara Dhanagun (Hok Tek Bio) Bogor.
Kesukaan saya akan bakso berkuah bening berawal dari Malang. Zaman sekolah menengah saya biasa makan bakso di warung dekat stasiun Kota Malang.
Kuahnya bening ditabur irisan seledri. Pentolnya (bola-bola daging) empuk. Saus tomatnya istimewa. Saya tidak pernah menemukan rasa sama setelah pindah dari kota Malang, kecuali waktu makan bakso Malang gerobakan di daerah Tomang Jakarta.
Singkat kata, bakso kuah bening tidak terlalu berminyak dengan aroma tidak tajam menjadi kesukaan saya. Bukan berarti saya menolak gaya olahan cara lain. Tidak.
Pindah ke Bogor saya menemukan bakso/bakwan Malang, tetapi kurang begitu suka. Harus ditambah micin agar terasa gurih.