Bakda asar. Petak pengap. Udara terjerembap berbaur omelan dari dapur. Ke simpangan aku menyeret kabel serabut berpilin-pilin di dalam kepala.
Duduk pada beton tepi jalan cagak. Bertemu dengan orang-orang terpinggirkan. Menghirup udara segar. Mengurai kusut.
Sudut pertemuan jalan itu menawarkan kisah tentang segala kesah, juga bualan-bualan, yang paling mungkin terpikirkan oleh manusia.
"Ke mana Usman, tumben tidak kelihatan?"
"Ia pulang. Menghadapi petugas yang hendak mencabut meteran listrik rumahnya," ujar Pak Tua.
Pria berpipi cekung kemudian bangkit. Meniup peluit berkali-kali demi melihat sedan mewah dengan lampu kuning berkedip-kedip.
Tangan kanan pak Tua terangkat ke udara. Para pengguna jalan memelankan mobil motor lalu berhenti. Tangan kiri mengayun.
Moncong sedan melompat menuju jalan besar. Dari balik kaca, sopir merentang lima jari. Melesat.
"Usman pasti berseru, kalau perlu memaki, mengetahui mobil menyeberang jalan hanya dadah-dadah. Dikasih uang logam saja ngomel!"
"Tetap bersyukur. Berapa saja diterima. Kan tidak ada karcis yang menentukan harga," timpal pak Tua.