Berjalan selama delapan atau sembilan bulan, penjualan nasi uduk, pecel, lontong sayur, dan aneka gorengan di halaman rumah amatlah laris.
Buka dari Senin sampai Jumat pukul 5.30 -- 11.00 WIB atau sampai barang dagangan habis. Tutup tidak lebih dari waktu Zuhur.
Konsumen warung Emak beragam, terdiri dari:
- Tetangga yang tidak sempat memasak sarapan.
- Pegawai kantor sebelah.
- Ibu-ibu pengantar anak sekolah.
- Pengemudi ojol yang notabene warga sekitar.
- Pengendara motor dan mobil melintas.
- Dan mereka yang nongkrong sebelum melanjutkan aktivitas.
Pembeli disebut paling akhir mencakup penjual roti keliling, sales bermotor, dan wiraswastawan yang sedang merakit usaha. Emak sampai hafal satu persatu pelanggan yang tiap hari datang.
Absennya satu pelanggan membuat istri marbut masjid seberang rumah bertanya-tanya. Lebih dari seminggu pria yang biasanya nongkrong tidak muncul.
Satu hari ia muncul membawa sebungkus bakso untuk Emak. Sampel, katanya. Rupa-rupanya pria berkacamata tersebut sibuk dengan urusan pembukaan usaha bakso.
Mendengar itu, Emak merasa senang dan menyemangati agar ia menekuni usahanya. Menyarankan agar menyisihkan hasil penjualan untuk celengan biaya sewa berikutnya.
Pria itu menyewa kios seharga Rp 1,8 juta setahun dibayar di muka. Mesti menyisakan 50 ribu per hari untuk membayar sewa tempat pada tahun depan, menurut Emak.
Itu kalau berjualan selama 360 hari dalam setahun. Jika menghitung libur, maka nilai penyisihan untuk celengan akan lebih besar. Ditambah pula dengan apabila mereken pengembalian investasi dan keuntungan diharapkan.
Kita tinggalkan dulu hitung-hitungan di atas. Berbincang dengan penjual bakso itu demi mengetahui pengalamannya selama seminggu berjualan.