Lihat ke Halaman Asli

Budi Susilo

TERVERIFIKASI

Bukan Guru

Biasa Hidup Minimalis, Bukan karena Tren

Diperbarui: 11 Juli 2022   20:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi ruangan minimalis oleh Monoar_CGI_Artist dari pixabay.com

Pernah makan nasi dengan seperempat telur rebus? Dengan kecap? Atau dengan garam? Pakai baju lungsuran? Buku bekas kakak kelas? Kaos kaki pakai karet?

Masih banyak permisalan. Mereka yang sempat hidup di zaman di mana iklan hanya dapat didengar di radio, atau dilihat di surat kabar, dapat menceritakannya lebih lengkap.

Pada tahun 1975 membeli sepeda motor bebek C 70 anyar "hanya" seharga Rp 300 ribu. Kemewahan lain yang menghiasi rumah adalah radio tabung dan mesin jahit Singer. Bayar kontan alias tunai, tanpa ada fasilitas kredit konsumsi, untuk mendapatkan benda-benda itu.

Kulkas, televisi hitam putih, dan stereo set hanya ada di rumah keluarga berada.

Rasanya kebanyakan orang hidup apa adanya. Bukan karena kekurangan, tapi tidak ada gerakan saling merangsang untuk membeli barang kebutuhan secara berlebihan. Umumnya disesuaikan dengan keperluan dan, tentu saja, kekuatan finansial.

Mungkin saja saat itu korupsi demikian terpusat. Hanya ada di sekitar "langit" kekuasaan.

Maka pegawai negeri seperti ayah saya tidak memiliki banyak barang, selain cukup untuk hidup sehari-hari, dan bisa sedikit menabung.

Oleh karena itu, bukan sesuatu yang mencengangkan bila hidup sesuai keadaan --kata generasi sekarang: gaya hidup minimalis.

Bukan karena tren. Bukan ikut-ikutan. Tapi sebab sudah terbiasa.

Cerita berbeda saya peroleh ketika mengantarkan seorang kerabat berkunjung ke pusat perbelanjaan. Banyak barang dibeli, saya tidak yakin ia akan menghabiskan mereka dalam waktu singkat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline