Rombongan ibu-ibu berjalan kaki menuju majelis pengajian di sebuah masjid. Melihat buah bergerombol pada batang pohon, serentak berseru heboh, "buah apa ya?"
Seseorang dari kumpulan itu menjawab dengan suara keras dan meyakinkan, "itu buah sawo. Ya benar, sawo!"
Lain waktu, bapak-bapak berbaju kaos bercelana pendek berlari kecil --mungkin dalam rangka mengecilkan perut---saling bertanya. "Baru lihat. Buah apa ya?"
Seseorang yang mengepalai kumpulan itu menukas, "buah sawo."
Belum lama, seorang pria dewasa yang kerap melintas bertanya: itu pohon sawo ya! Saya hanya bisa tepuk jidat. Capek deh.
Jangan khawatir, masih banyak kisah senada. Apalagi Anda nongkrong sambil ngopi bersama saya di dekat pohon langka itu. Ada saja orang yang kepo.
Sebaliknya, saya mengamati, anak-anak berseragam berhenti untuk membaca keterangan yang dipasang di dekat pohon berbuah lebat itu. Sebagian membaca dalam hati, sisanya mengeja keras-keras.
Ternyata ada perbedaan pemaknaan terhadap objek serupa dari generasi berbeda, akibat cara melampiaskan kepo yang tidak sama. Benarkah demikian? Kita lihat dengan membatasi bahasan pada pihak-pihak tersebut di atas. Bukan orang lain secara general.
Kepo
Sebagian dari kita meyakini bahwa kata ini merupakan serapan dari bahasa Hokkian. Kay Poh atau Kaypo, berarti rasa ingin tahu terhadap orang lain. Menafikan anggapan bahwa ia merupakan akronim dari Knowing Every Particular Object.