Lihat ke Halaman Asli

Budi Susilo

TERVERIFIKASI

Bukan Guru

Perjalanan ke Kampung Halaman

Diperbarui: 30 April 2022   17:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Macet (Sumber: KOMPAS.COM/RASYID RIDHO)

Seraya mencubit kulit, matahari perlahan memanjat langit. Kaca jendela tenggelam, membiarkan udara menerobos masuk. Bersama bau sangit pelat kopling, lenguh mesin, dan asap knalpot.

Aku cemas, menatap deretan mobil berkerumun di semua lajur. Sesekali bergerak maju. Lebih banyak berhenti. Macet di jalan bebas hambatan sudah dari tadi. Tiada jalan untuk menarik langkah. Maju pun tidak tampak gerbang keluar jalur tol dipandang dari belakang setir.

Semua orang berlomba-lomba dari Jakarta menuju timur. Semua terburu-buru demi selekas-lekasnya tiba di tempat tujuan. Sampai ketika semuanya terbendung lalu lintas membeku.

Aku menghela napas. Menurunkan adrenalin yang sempat dirasuki arwah Aryton Senna.

"Ah, macet. Persoalan klasik yang tidak pernah dapat diselesaikan."

Pikiran melambung ke kampung halaman yang masih tiga perempat dari seluruh panjang perjalanan. Dengan cepat pikiran surut ke belakang. Getun: kenapa tidak berangkat tengah malam?

Malah tidur. Berangkat tidak lama setelah sarapan dan minum kopi. Kopi?

Haaaah...?!!??

Mendadak kedua kaki lemas. Cemas bertumpuk-tumpuk, seolah tiada hal yang lebih patut dicemaskan daripada kecemasan pada saat ini.

Bayangan kesibukan sebelum berangkat, sewaktu sang surya masih rebah di ufuk, berputar cepat. Menyorotkan fragmen-fragmen riuh di pelupuk mata.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline