Di satu jalan kecil ke pasar ada lima penjual mi ayam. Satu di restoran, empat di tepi jalan. Satu gerobak sederhana tampak ramai. Bikin penasaran.
Pada awal tahun, saya sempat coba mi ayam kampung yang berada di restoran.
Menurut ukuran kantong saya yang terkadang bolong, harganya mahal. Seporsi Rp 28.000, setengahnya dijual seharga Rp 16.000. Namun demikian, jumlah uang dirogoh setimpal dengan rasa dan kualitas disajikan.
Baca: Mi Ayam Kampung Asli, Harga Tinggi Rasa Enak Sekali
Mi ayam kampung dihidangkan secara terpisah, antara mangkuk berisi mi matang, ayam kampung, sayur, bumbu-bumbu dengan satu mangkuk kuah/kaldu ayam hangat. Mi ayam kaldu terpisah merupakan cara penyajian yang saya gemari.
Bukan berarti tidak menyukai mi ayam dengan gaya nyemek, alias semua digabung di dalam satu mangkuk.
Pertama kali menyantap mi nyemek ketika berada di sekitar kantor pusdiklat sebuah kementerian, terletak di Jakarta Selatan. Dulu, sewaktu masih bujangan.
Mi ayam mamang gerobak merupakan sasaran dalam mengatasi rasa lapar pada jam tanggung (pukul sepuluhan pagi atau jam tiga sore). Lumayan mengenyangkan, juga murah. Saya lupa harga persisnya.
Masakan mi panas dengan sayur sawi dan topping rajangan ayam diolah dengan kecap dan bumbu lainnya. Topping mi nyemek rasanya mirip semur.
Setelah mengenal mi ayam yang dijual di restoran, selera beralih ke mi ayam pisah kaldu. Topping cacahan ayam cenderung berwarna natural. Lebih menonjolkan rasa daging unggas tersebut.
Mungkin ada rempah tertentu saat mengolah, seperti kecap Inggris, kecap asin, merica. Tetapi bumbunya tidak dominan. Kuahnya pun cenderung tawar dengan rasa kaldu yang kuat.