Antre selama 2-3 jam untuk memperoleh pelayanan kesehatan menggunakan kartu BPJS. Sebelumnya, berbulan-bulan membayar iuran tanpa manfaat apa pun.
Ketika belum mengetahui --tepatnya mengabaikan---manfaat program Jaminan Kesehatan Nasional Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS), saya tidak mendaftarkan diri ke BPJS Kesehatan.
Antrean pendaftaran membludak membuat enggan meluangkan waktu berharga. Lagipula, merasa tidak memerlukan sebab kondisi badan sendiri dan keluarga masih sehat.
Kalaupun sempat sakit, masih mampu mengatasi biaya dokter, obat, dan rumah sakit. Sampai sebuah serangan penyakit kronis mengubah pikiran.
Awalnya, merasa masih mampu membiayai rawat inap di rumah sakit. Kemudian terbayang pengeluaran selanjutnya: biaya jasa dokter spesialis dan beli obat setiap bulan. Orang kayak saya harus minum obat tiap hari untuk menghindari hal lebih buruk.
Bayangan itu mendorong untuk mendaftar ke kantor BPJS Kesehatan setempat. Ternyata prosedurnya mudah. Pengurusannya tidak membutuhkan waktu lama, kurang dari satu jam. Pembayaran iuran secara autodebit, menjamin saya tidak bakal lupa memenuhi kewajiban.
Pilihan nilai iuran mandiri setiap bulan, menurut informasi saat ini, terbagi tiga:
- Rp 150 ribu (kelas I);
- Rp 100 ribu (kelas II); dan
- Rp 42 ribu (kelas III) disubsidi Rp 7.000 menjadi Rp 35 ribu berdasarkan Peraturan Presiden nomor 64 tahun 2020.
Saya mengambil yang kelas 3, sesuai kemampuan. Selanjutnya, kartu BPJS Kesehatan atau JKN saya gunakan untuk pemeriksaan dokter spesialis dan menebus obat tertentu. Setiap bulan, hingga munculnya pandemi.
Maret 2020 merupakan waktu terakhir memeriksakan diri ke dokter spesialis yang berpraktik di sebuah RSUD. Ketakutan tertular merebak dalam pikiran, mengingat pada saat itu rumah sakit tersebut menjadi pusat penanganan Covid 19.
Saya berhenti memanfaatkan kartu JKN. Iuran jalan terus, mengingat pembayaran melalui autodebit. Galau! Buat apa membayar, jika tidak dipakai? Saya pun mereken untung rugi.