Kemarin. Tak sampai pukul 11 pagi, jajan di 3 lapak. Dua bakwan di warung pertama. Kopi saset di kedai halaman rumah sendiri. Latte di kafe tetangga.
Pemilik warung nasi uduk dan gorengan terheran-heran. Di rumah sudah ada penjual gorengan, tapi saya masih jajan di tempat lain.
Memang seminggu terakhir, ada penjual makanan mangkal di halaman rumah. Di bawah bangunan tenda seadanya, Marbot (penjaga masjid) dan istrinya membuka lapak menjual: nasi uduk, gado-gado, bihun goreng, lontong sayur, ketan, dan aneka gorengan.
Nyaris sama dengan penjual nasi uduk di sekitar, cuma barang dagangan Bu Marbot lebih beragam. Baginya, warung sederhana di halaman rumah saya merupakan lapak ketiga, setelah "tersingkir" dari gerai serupa di halaman masjid yang amat luas. Ada persoalan apa, saya tidak ikut campur.
Yang jelas, beberapa waktu lalu Bu Marbot dengan didukung RT memohon agar bisa menyewa sedikit lahan di halaman rumah. Luluh, akhirnya permintaan diterima dengan syarat tidak mesti membayar sewa, asalkan menjaga kebersihan.
Persiapan tiga hari. Seminggu lalu ia sudah mulai berjualan. Kemudian kegiatan tersebut memicu kafe tetangga sebelah untuk buka, setelah tidak beroperasi sekitar tiga mingguan sejak pembukaan perdana.
Baca juga: Jangan Sampai Baru Buka Bisnis Kuliner, Besoknya Tutup
Maka pemilik kafe giat melakukan pembenahan agar lebih siap. Mungkin juga dipicu kenyataan bahwa Bu Marbot membuka lapak tepat di sampingnya. Namun bagaimanapun pasar yang dituju berbeda.
Satu lapak adalah bisnis kuliner yang menjual penganan populer. Sedangkan kafe tetangga menyasar pasar kuliner kekinian. Artinya, satu sama lain tidak saling bersaing dalam menjalankan bisnis.
Begitulah ceritanya.