Rasanya enak, ngopi tanpa gula dan menyantap tempe goreng anget. Tapi pagi ini bakul gorengan berseru, "gak ada! Pembuat tempe pada mogok."
"Hah?"
Oh, ternyata mulai Senin (21/2/2022) produsen tempe dan tahu di pulau Jawa mogok selama tiga hari. Tahu tempe lenyap. Aksi itu merupakan bentuk protes atas kenaikan harga kedelai, dari Rp 8.000 menjadi Rp 11.240 per kilogram.
Pihak perajin menuntut pihak pemerintahan agar menstabilkan harga bahan pangan yang bagian terbesar diimpor itu. Dalam kesempatan pembahasan masalah tersebut, pemerintah mengisyaratkan dukungan atas kenaikan harga jual tahu tempe (sumber ini dan ini).
Setelah digempur oleh kenaikan harga minyak goreng, kali ini pihak otoritas menghadapi kenaikan harga kedelai. Harga barang kebutuhan pokok yang sangat rentan terhadap harga internasional (jika tidak mau disebut: didikte oleh produsen global).
Kira-kira pada bulan November 2020, persoalan kedelai sempat saya tulis, menyoroti tentang tataniaga impor kedelai (juga bahan pangan lainnya) yang diduga "bergantung" kepada para importir swasta, alias pedagang yang alamnya meraih laba.
Baca selengkapnya: Swasembada Kedelai Bisa Saja Tercapai, Jika Pemerintah Mengendalikan Impor
Perakitan artikel tersebut berkenaan dengan rencana Kementerian Pertanian membudidayakan tanaman kedelai sampai 500 hektar.
Pada kesempatan panen kedelai di Polewali Mandar, Rabu (4/11/2020), Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo menegaskan bahwa pihaknya akan memproduksi sebanyak-banyaknya kedelai, demi memenuhi kebutuhan konsumsi 2-3 juta ton setahun. Atau setidaknya mengurangi jumlah impor secara signifikan.