Tiada rotan, akar pun jadi. Tiada soto Lamongan, kwetiau yamin pun menjadi pereda hidung mampat. Juga penebus rindu.
Ketika menayangkan artikel terakhir, Kamis pekan lalu, sebenarnya saya sudah merasakan gejala penurunan kesehatan badan.
Udara terasa lebih dingin. Sering bersin, tapi tidak cukup melubangi hidung tersumbat. Setiap saat harus menyediakan tisu, untuk membersihkan cairan bening yang keluar sebilang waktu.
Sepertinya saya terserang virus flu. Tidak deman, tapi meriang. Dari hidung sesekali keluar cairan cenderung berwarna bening. Tidak pusing, namun malas membaca, menulis, atau apa pun yang membebani pikiran.
Kata orang-orang, masuk angin!
Kemudian untuk menangkalnya, saya berselimut di tempat tidur. Tujuan lain berbelat kain tebal agar berkeringat. Ternyata selama empat hari cairan asin itu tidak merembes dari pori-pori.
Selama itu saya tidak mengonsumsi obat medis. Bagi saya, mengatasi infeksi flu adalah dengan makan cukup, perbanyak minum air putih, dan beristirahat lebih dari biasanya.
Konsekuensi logisnya adalah meninggalkan kegiatan sehari-hari, menulis, membaca lantas menanggapi artikel atau pesan-pesan dunia medsos.
Empat hari kemudian atau Senin kemarin udara mulai tidak terasa dingin. Cairan keluar dari hidung sudah tidak ada. Frekuensi bersin-bersin berkurang, tapi organ pernapasan masih belum lega.
Cuaca cerah. Matahari memancar terang. Tiba waktunya untuk menghirup hawa segar dan menyerap sinar pagi yang menyehatkan.