Tangan kanan bergetar hebat. Berguncang tanpa kendali. Cairan merambati urat-urat, menembus batas atas. Deras.
Perasaan diperlakukan tidak benar memancur, menyala-nyala di dalam kepala. Pertentangan pendapat berderai-derai, memercikkan satu pertanyaan.
“Sebentar, sebentar! Jadi, kau tidak semufakat dengan usulan tadi?”
Lawan bicara pada telepon genggam seberang menyahut, “bukan begitu. Itu terlalu umum. Kita perlu men-deliver sebuah badan, semacam komite Kereta Cepat Jakarta-Bandung itu.”
Keterangan berikutnya disampaikan dengan terbata-bata. Saluran melalui aplikasi bertukar pesan tanpa pulsa itu memang kurang bagus. Saya menjawab dengan kata-kata singkat, hmmm, ooh, begitu ya, dan seterusnya.
Saya berusaha keras meredam emosi, agar tekanan darah –dalam arti sesungguhnya—tidak meninggi. Hipertensi adalah pemicu timbulnya penyakit kronis pada diri saya.
Itu membuat emosi mudah tergugah. Sensitif. Perasaan sangat mudah terpancing, kendati disebabkan oleh perihal sederhana. Tertawa tak tertahankan, bila ada sedikit saja hal lucu. Sedih berlebih, ketika trenyuh hati. Marah hebat, saat ada yang menyinggung perasaan.
Selanjutnya, saya tidak lagi melontarkan argumen kepada Gustavo.
Kawan sekolah itu sejak dulu senantiasa berdandan stylish, cenderung flamboyan, dan besar cakap. Gustavo memiliki selera tinggi, senang menjalankan gaya hidup berlebih, meniru-niru orang-orang yang berada di kelompok kaya. Tipikal orang pemanjat tangga sosial di awang-awang atau mengasosiasikan diri dengan social superiors.
Dus, seiring dengan itu ia kerap meremehkan lawan bicara yang dianggap lebih rendah dari padanya. Juga merasa dirinya lebih pintar, sehingga dalam banyak percakapan tidak mau kalah omong.