Bibir merah milik istri saya hilang, jatuh tercecer entah di mana. Saat pagi-pagi terbangun, saya melihat bagian dari mukanya itu pucat. Suatu keadaan yang membuat hati saya sangat masygul.
"Bune, segera lah bercermin!"
Dengan berat hati ia mengangkat tubuhnya, meninggalkan tempat beradu cinta menuju lemari, di mana kaca tertempel memantulkan bayangan.
Tampak daster yang pada bagian pinggang sebelah kirinya koyak membungkus tubuh lurus, bermahkota rambut panjang awut-awutan, mata membelalak lebar menyamarkan hidung mungil. Di bawahnya tidak ada apa-apa. Rata!
Tanpa suara, cermin memberikan pernyataan tak terbantahkan: bahwa bibir merah yang biasa melemparkan senyum renyah telah hilang dari wajah istri saya.
Ah, jangan pikirkan reaksi terperangah atau mulut menganga istri saya karena terkejut. Jangan!
Bagaimana ia bisa membuka mulut, jika bibir merahnya tidak ada?
Jangan juga bilang, mestinya saya merasa nyaman berada di rumah tanpa omelan. Mitraliur itu menghamburkan desakan-desakan, bak suara demonstran menagih janji kampanye para wakil rakyat dan birokrat pemenang pemilihan umum.
Desakan-desakan yang tidak dapat segera saya penuhi. Saya lebih mengutamakan mengadakan nasi beserta lauknya, daripada membeli layar datar demi membarui televisi tabung. Demikian juga dengan belanja panci presto, wajan teflon, lipstik, dan kosmetik.
Tiadanya bibir membuat saya tari payung, berpusing-pusing salah tingkah tidak karuan tanpa lawan bertengkar. Tiadanya bibir otomatis menghilangkan senyum istri saya. Rumah gersang tanpa hadirnya senyum.