Pertama kali memperoleh proyek, saya mengalami kelebihan bata merah sebanyak kurang lebih 4.000 buah.
Kok bisa begitu?
Dalam pekerjaan pembangunan pagar keliling setinggi 3 meter untuk lahan seluas 1.000 meter persegi, tidak dihitung luas kolom (tiang beton bertulang) yang berjumlah banyak. Juga tidak terhitung luas sloof, balok-balok penghubung kolom.
Lagi pula saat itu saya belum tahu persis cara menghitung kebutuhan bata merah dan pentingnya mengetahui kebutuhan bahan bangunan secara akurat.
Dengan pengalaman itu, saya belajar mengenai seluk beluk perhitungan bangunan dalam perjalanan menekuni dunia konstruksi, melalui:
- Membaca gambar detail yang menunjukkan dimensi dan ukuran-ukuran bangunan.
- Interpretasi gambar untuk menghitung kebutuhan bahan. Misalnya, luas dinding bata merah dikurangi bagian-bagian yang tidak ditutup bata, seperti: struktur beton bertulang (kolom, sloof, balok) dan opening (pintu, jendela, kisi angin).
- Analisa Satuan Harga Pekerjaan (AHSP) sebagai patokan resmi yang mengindikasikan kebutuhan langsung (tenaga kerja, penggunaan alat, dan bahan), serta komponen tidak langsung yang berpengaruh (biaya umum dan keuntungan).
Memahami AHSP bagi mereka yang tidak berlatarbelakang ilmu sipil merupakan proses belajar memerlukan waktu dan pengalaman panjang.
Dalam beberapa proyek berikutnya, berdasarkan pengetahuan penghitungan tersebut, saya terhindar dari kelebihan bahan bangunan secara ekstrem. Kalaupun ada kelebihan, masih dalam batas wajar.
Pas banget juga tidak mungkin, karena pembelian bahan bersifat glondongan atau sekaligus.
Sementara bahan bangunan itu sendiri terbagi menjadi dua golongan besar, yaitu:
- Bahan yang bersumber dari quary, seperti: batu, pasir, tanah, dan sebagainya);
- Bahan pabrikan, seperti: besi, bata merah, semen, aspal, dan sebagainya.
Bagusnya, saat ini sebagian besar bahan sudah tersedia di pedagang perantara, semisal toko bahan bangunan. Jadi gampang didapat.