Berapa waktu lalu, seorang kawan berkunjung ke rumah setelah sebelumnya berwacana intens melalui gawai. Komunikasi lewat angin itu dituntaskan dengan pertemuan tatap muka.
Bukan substansi pertemuan yang menjadi soalan, tetapi semangat juang kawan tersebut dalam bekerja telah menarik perhatian saya.
Ia adalah salah satu dari "teman apkiran" yang menjadi sahabat. Seperti telah dituliskan di dalam artikel sebelumnya, limpasan teman-teman dari Fulan saya sebut teman apkiran.
Tiongseng Marolop Sinaga, nama lengkapnya. Seng Seng, nama panggilannya. Pria energik itu berasal dari Ibu berdarah Tionghoa dan Ayah dari sekitar Toba.
Namun jangan harap ia mampu menjawab dalam bahasa ibunya atas pertanyaan dari pedagang Glodok, Jakarta. Pun jangan coba-coba bercakap dengannya dalam tutur kata Batak. Seng Seng lebih mahir berbahasa daerah Sunda.
Selama berteman, saya mengagumi daya juangnya dalam mengerjakan suatu amanah pekerjaan, sekalipun tanpa imbalan.
Sekian tahun lalu, Seng Seng sibuk membantu kegiatan si Fulan. Dengan keahliannya di bidang Teknologi Informasi dan manajemen, ia mengerahkan seluruh energinya demi menyukseskan kegiatan itu. Konsiderannya: si Fulan adalah teman baik. Hanya itu.
Air susu dibalas dengan air tuba! Keringat Seng Seng dibayar lunas dengan caci maki, pengucilan, dan sebutan "tidak beretika" pada ujung cerita.
Fulan bak lebah: mulut membawa madu, pantat membawa sengat. Orang yang manis tutur katanya, tetapi hati tidak bagus. Diwujudkan dengan berlaku tidak baik kepada orang lain. Menyakitkan.
Selengkapnya dapat dibaca di: Membangun Personal Branding yang Berkorelasi dengan Reputasi
Di balik peristiwa tersebut, sesungguhnya Seng Seng memiliki semangat tinggi dalam bekerja ataupun menyelesaikan satu hal.
Ia terus berusaha tanpa mengenal putus asa dalam menyelesaikan pekerjaan atau persoalan bagaimanapun juga caranya. Ibarat patah tongkat berjeremang. Terus berusaha, tidak pernah putus asa.