Lihat ke Halaman Asli

Budi Susilo

TERVERIFIKASI

Bukan Guru

Perajin Tahu Tempe Menjerit, Harga Kedelai Kembali Melangit

Diperbarui: 9 April 2021   10:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perajin tahu tempe di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, mengeluhkan kenaikan harga kacang kedelai impor di pasaran saat ini. Mereka pun terpaksa memperkecil ukuran produksi agar tidak merugi.(KOMPAS.COM/FIRMAN TAUFIQURRAHMAN)

Setelah pada awal tahun 2021 terjepit, perajin tahu dan tempe kembali menjerit, akibat naiknya harga kedelai. Sementara janji untuk menekan harga dengan melipatgandakan produksi kedelai dalam negeri dan swasembada kedelai masih menggantung di awang-awang.

Kemarin, Kamis (8/4/2021), Kompas.id menurunkan berita tentang harga jual kedelai di agen yang kembali naik menjadi Rp 10.200 per kilogram. Pada awal Januari lalu, harga kedelai melonjak dari Rp 7.200 menjadi Rp 9.200 untuk setiap kilogram, mengakibatkan perajin tahu tempe mogok berproduksi di wilayah Jabodetabek, Banten, Jawa Barat, sebagian Jawa Timur, sampai Aceh.

Merespons gejolak waktu itu, Menteri Pertanian RI berjanji akan melipatgandakan produksi kedelai domestik dalam kurun waktu dua kali tanam, atau selama 200 hari. Sampai saat ini Syahrul Yasin Limpo (SYL) memastikan, bahwa program 200 hari berjalan sesuai rencana, berdasarkan hasil observasi insentif yang dilakukan oleh pegawai-pegawainya, sebagaimana disampaikan pada Rapat Kerja dengan Komisi IV DPR RI pada hari Senin (29/3/2021).

Sampai dengan artikel ini dibuat, program tersebut "baru" berjalan 95 hari, bahkan belum tiba kepada masa panen pertama, sehingga tidak dapat dijadikan tolok ukur keberhasilan program 200 hari. Kita tunggu saja realisasinya.

Jika kita melempar ingatan kembali ke penghujung tahun 2014 silam, pada awal menjabat sebagai orang nomor satu di Indonesia, Presiden Joko Widodo melontarkan gagasan swasembada kedelai dalam waktu 3 tahun. Apabila melebihi batas waktu, maka menteri pertanian akan diganti (dipecat).

Tiga tahun setelah pencanangan, menteri pertanian saat itu tidak dipecat, kendati swasembada kedelai jauh dari tercapai. Sampai saat ini pun belum terealisasi, dan belum ada terdengar berita pemecatan menteri pertanian.

Jangankan swasembada, impor kedelai masih terus berlangsung, di mana kebutuhan kedelai domestik 2,8 juta ton dipasok dari kedelai internasional sebanyak 2-2,5 juta ton. Menurut catatan, selama tahun 2020, kedelai menduduki empat besar komoditas impor nonmigas atau setara 1 miliar dolar AS.

Pihak bertanggungjawab di pemerintahan berdalih, sulitnya Indonesia merealisasikan swasembada kedelai dipengaruhi oleh:

  1. Merosotnya minat para petani untuk membudidayakan tanaman kedelai.
  2. Rendahnya produktivitas hasil tanaman kedelai.
  3. Tidak bagusnya kualitas produk lokal dibanding kedelai impor.

Persoalan pertama sebenarnya sudah mengakar sejak lama, dimulai ketika kedelai impor membanjiri pasar domestik dengan harga lebih murah dibanding kedelai lokal. 

Sekitar pertengahan dekade 80-an dipropagandakan penggunaan kedelai impor oleh pihak berkepentingan. Rendahnya harga kedelai berakibat kepada merosotnya minat petani untuk menanam kedelai. Di sinilah diperlukan willingness dari semua pihak untuk membendung impor kedelai, dengan menghalau kecanduan kepada impor pangan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline