Begitulah judul berita yang diturunkan oleh sebuah media, "Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Ultimatum Warga: Sengaja Tak Lapor SPT Bisa Masuk Bui!"
Setiap wajib pajak (WP) diharuskan melaporkan pajak melalui Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT). Apabila WP tidak menyampaikan SPT karena lupa, alpa, atau sengaja tidak melapor, maka ia dapat dikenai sanksi, dari mulai surat peringatan hingga hukuman pidana.
Sanksi tersebut diberikan bagi WP yang tidak melaporkan SPT sampai dengan batas akhir waktu pelaporan. Untuk WP orang pribadi (OP) ditetapkan batas akhir pelaporan SPT 2020 pada tanggal 31 Maret 2021. Sedangkan untuk badan usaha ditentukan hingga tanggal 30 April 2021.
Laporan SPT bisa dilakukan secara online. Arsip perpajakan di laptop saya menandai tahun 2015 sebagai awal laporan pajak secara daring.
Sebelumnya laporan pajak tahunan dilakukan secara manual dengan banyak lembaran kertas yang mesti diisi.
Mengisi formulir perpajakan cukup njlimet. Butuh pikiran, tenaga, dan waktu khusus untuk melaporkan SPT.
Setelah berkeringat dingin, berkas formulir terisi dimasukkan ke dalam amplop coklat ukuran folio, dibubuhi alamat Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama dan kode tertentu. Jadi, WP yang sedang berada di luar wilayah domisilinya, bisa melapor di kota mana saja di Indonesia.
Amplop coklat dibawa ke KPP, di mana ratusan WP telah mengantre. Oleh karena itu pihak kantor pajak menyediakan kursi lipat untuk menunggu di bawah tenda khusus.
Setelah tiba giliran, isian formulir diperiksa oleh petugas. Jika benar, maka berkas diterima dan petugas pajak memberikan sepotong tanda terima. Dengan itu, WP secara resmi dinyatakan telah lapor SPT. Jika tidak? Ya balik lagi!
Pada tahun-tahun itu bermunculan pihak yang menawarkan jasa pengurusan pajak. Celah itulah yang kemudian dimanfaatkan oleh oknum tidak bertanggungjawab untuk mengambil untung dengan praktik "perkeliruan".