Pada ranumnya senja di sebuah restoran "gaul" di tepi jalan alias warung tenda, putri saya memesan makanan yang saat itu sedang populer, chicken teriyaki. Saya sendiri memilih nasi goreng yang mudah ditelan.
Waktu itu, mungkin sampai sekarang, banyak warung kaki lima yang menawarkan olahan yang biasa tersedia di restoran, semisal chicken atau beef teriyaki, katsu, spaghetti, steak.
'Rasa hotel bintang lima, harga kaki lima' merupakan tagline yang kerap digaungkan.
Warung-warung tenda itu mengusung makanan restoran ke tepi jalan dengan harga bersahabat. Tanpa dikutip pajak pula.
Setelah tiga suapan, putri saya menyuguhkan wajah kecewa, "kayak semur! Gak seperti di tempat bapak dulu."
Terlihat tampilan ayam teriyaki berwarna coklat pucat berkuah encer, membujur lemas seperti ayam sayur.
"Tetap dihabiskan ya, dimakan pelan-pelan saja." Sementara itu, isi piring nasi goreng nyaris tandas. Memang bagi saya hanya ada dua macam makanan: enak dan enak sekali.
Pikiran melayang ke tahun 2000-an, Chef di tempat yang saya kelola membuat racikan sendiri saus teriyaki. Cita rasanya enak sekali, bahkan saya tidak pernah bosan melahapnya.
Takaran persisnya tidak diketahui, namun saya masih mengingat komposisi pembentuknya.
Rasanya pun berbeda dengan saus teriyaki instan (sasetan) di warung sekitar rumah yang terasa penyedap artifisial
Tidak ada salahnya saya mencoba meracik saus sendiri sekaligus membuat chicken teriyaki.