Lihat ke Halaman Asli

Budi Susilo

TERVERIFIKASI

Bukan Guru

Tegang? Buang Fanatisme Politik, Indonesia Butuh Ketawa

Diperbarui: 26 Desember 2020   06:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar kaos salah satu paslon pemilu 2014 (dokumen pribadi)

Bergabungnya Prabowo-Sandi ke Pemerintahan Jokowi-Ma’ruf menuai pro-kontra dan polemik penambah ketegangan politik.

Peristiwa Mei 1998 telah mengubur rezim otoriter Orde Baru yang dipimpin Soeharto selama lebih dari 3 dekade dan menandai permulaan era politik reformasi. Setelahnya, reformasi memupuk tumbuh kembang demokrasi Indonesia ke arah fase keterbukaan, yang selama Orba dikurung dalam kerangkeng stabilitas keamanan, politik, ekonomi, sosial budaya.

Kini, siapa pun bebas menyampaikan pendapat, berkumpul, dan menyampaikan aspirasi melalui partai politik. Dari dua partai politik dan satu golongan (parpol satu ini pada masa Orba memang enggan disebut partai) menjadi banyak partai yang berkompetisi untuk mendudukkan wakilnya dalam takhta kekuasaan dan parlemen.

Tidak mengherankan jika belakangan berbagai pihak berusaha meneriakkan suara sekeras mungkin dengan bermacam kepentingan. Suara-suara yang kerap menimbulkan kegaduhan di kolom-kolom berita juga dalam ruang-ruang maya. Dinamika percakapan-percakapan politik semacam itu banyak diulas dalam beragam artikel dengan perspektif masing-masing.

Maka, silang pendapat yang berseberangan kian mengemuka, bahkan menumbuhkan polarisasi politik di kalangan pengikutnya.

Terakhir, pemilihan presiden 2019 telah menegaskan pengutuban itu menjadi dua kubu yang saling menistakan, padahal sama-sama bermukim dan cari makan di bumi Pertiwi tercinta ini. Masing-masing pihak memiliki pembenarannya sendiri, dan sulit dicari titik-temunya. Perbedaan politik tersebut dapat mengancam integrasi sosial, kendati belum bisa dinyatakan sebagai disintegrasi.

Perbedaan itu, bagaimanapun juga, telah menimbulkan kegaduhan di masyarakat. Ada hal-hal yang dianggap sebagai pemicu, misalnya: soal Omnibus Law UU Cipta Kerja yang telah menuai protes keras. Pokoknya persoalan apa pun dapat digunakan sebagai bahan bakar perbedaan pemicu protes dan unjuk rasa.

Proposisi “musuh bersama yang bisa menyatukan masyarakat” memudar. Pandemi Covid-19 yang timbul pada triwulan pertama di Indonesia tidak serta merta dianggap sebagai musuh bersama yang mampu meruntuhkan pertengkaran-pertengkaran politik.

Heru Margianto dalam “Negara Melodrama” (Maret 2019) menyoroti kecenderungan publik sebagai masyarakat melodrama.

Dalam masyarakat opera sabun, seperti layaknya rumus melodrama yang hitam putih, stereotip, serba pro-kontra serta vulgar. Segalanya menjadi drama, logika terkalahkan emosi (Heru Margianto).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline