Pada sebuah bangunan bergaya kolonial berlantai dua terdapat ruang-ruang belajar mengajar, bagi sivitas akademika sebuah sekolah menengah atas negeri, berderet membentuk huruf "L". Di depan bangunan yang masih berdiri kokoh terhampar lapangan bola basket, digunakan juga sebagai halaman upacara pada setiap hari Senin atau hari-hari peringatan nasional.
Pilar-pilar penyangga kekar menopang lantai atas dan atap yang curam sehingga mengalirkan air hujan dengan cepat. Dindingnya yang kusam tersusun dari bata berganda, tampak tebal dan dingin.
Sedingin udara yang dihembuskan dari mulut dedaunan pohon-pohon mahoni tua yang ditanam pada halaman dan tepi jalan di hadapannya.
Pono menikmati desir angin dari lantai dua sambil memejamkan mata. Dihirupnya udara segar sambil berpegangan pada pagar beton berwarna pucat.
Dibukanya kelopak mata perlahan, lalu dipandangnya daun hijau yang sebagian berwarna kuning kemerahan tertimpa cahaya matahari barat dari atas lantai setinggi empat meter tersebut.
Seperti lantai bawah, tegel di atas merupakan penutup lantai asli yang belum pernah diganti. Kondisinya masih bagus, belum ada retak-retak, dan masih berwarna kuning cerah seperti labu.
Bedanya, sebagian besar tegel di lantai dua dipenuhi dengan bercak-bercak berwarna merah. Bercak tersebut meresap membentuk pola, ada yang seperti pulau-pulau dan ada pula yang bercecer memanjang sampai ke bagian seasar di luar dinding tempat Pono berdiri.
Hampir seluruh lantai berwarna kuning cerah seperti labu pada ruangan atas sampai balkon dihiasi oleh bercak-bercak berwarna merah.
Meskipun Pono setiap hari datang ke sana, tetapi lantai tegel kuning dengan bercak merah itu senantiasa membuatnya bertanya-tanya.
"Ya betul, dulunya itu adalah luberan darah," ujar seseorang yang baru dilihatnya dan bukan temannya yang sedang membuang hajat ke toilet.
"Bagaimana anda bisa tahu?"