Lihat ke Halaman Asli

Budi Susilo

TERVERIFIKASI

Bukan Guru

Bendera dan Umbul-umbul Mumbul

Diperbarui: 28 September 2020   10:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar oleh Jondolar Schnurra dari pixabay.com

Mendadak enak itu mengolah mi instan. Gampang. Sebagaimana mendadak masak menggunakan bumbu sasetan. Efektif. Mendadak menjadi tokoh itu terjadi dengan cara menempelkan sebuah ketokohan pada dirinya. Gampang dan efektif.

Pagi hari, pada sebuah rumah panggung di balik punggung bukit, seorang pria menarik napas dalam-dalam. Mengeluarkannya perlahan-lahan.

Dilakukannya beberapa kali untuk menyingkirkan rasa sesak. Dengan itu, oksigen merambat ke seluruh tubuh dan mendamaikan benak yang nyaris meledak.

Kedua matanya membedah sebuah surat undangan. Mencermatinya. Lelaki berwajah teduh itu menghela napas lagi.

Menurut pemahamannya, isinya tidak bersinggungan dengan apa yang telah diberitakan di koran. Kemarin, tetangga dan kerabatnya menunjukkan layar-layar yang memuat fotonya.

Berita terlanjur beredar: Kiai sepuh itu menggadaikan ketokohannya demi syahwat politik. Jangan-jangan dibayar?

***

Lelaki sepuh bermata teduh, bertempat tinggal di rumah panggung di balik bukit, dan dijuluki Kiai itu sesungguhnya adalah sosok yang paling dihormati oleh masyarakat kota kecil.

"Dalam gelaran Pilkada serentak ini, ada bagusnya Kiai Sepuh mencalonkan diri, dijamin menang," seseorang dengan lancang mengutarakan usulan.

"Kisanak, aku tidak dan tidak akan pernah terlibat dengan dunia politik. Duniaku adalah keheningan, jauh dari iri, dengki, benci yang senantiasa meliputi dunia politik," lelaki sepuh itu menghela napas.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline