Dalam Sidang Tahunan MPR/DPR-DPD RI, Presiden Jokowi menyampaikan seruan, "Target kita saat ini bukan hanya lepas dari pandemi, bukan hanya keluar dari krisis, langkah kita adalah melakukan lompatan besar, memanfaatkan momentum krisis yang sedang terjadi."
Selanjutnya ringkasan pidato kenegaraan itu, antara lain:
Transformasi Besar. Melakukan pembenahan fundamental, transformasi besar, dan menjalankan strategi besar yang meliputi bidang ekonomi, hukum, pemerintahan, sosial, kebudayaan, kesehatan, dan pendidikan.
Perubahan etos kerja dan pola pikir: dari cara-cara biasa menjadi cara-cara luar biasa; dari prosedur panjang dan berbelit menjadi smart short cut; dari orientasi prosedur menjadi orientasi hasil. Perubahan itu menitikberatkan pada fleksibilitas, kecepatan, dan ketepatan. Sementara, pada saat bersamaan diprioritaskan: efisiensi, kolaborasi dan penggunaan teknologi.
Optimisme. Jokowi meyakini, selain lepas dari pandemi Covid-19 dan keluarga dari krisis multidimensi, langkah penting adalah melakukan lompatan besar dengan memanfaatkan momentum krisis.
Namun demikian, pengamat menganggap substansi pidato itu sebagai jargon politik semata. Peneliti dari Indef, Bhima Yudhistira Adhinegara, menyebut bahwa pidato itu utopis.
Katanya, hal itu tidak berlandas kepada berbagai kebijakan baru yang efektif mengatasi persoalan ekonomi akibat Covid-19. Belum ada strategi yang bisa diterapkan. Penanganan dan stimulus kesehatan dipandang tidak serius. Dan berbagai argumen yang meragukan pernyataan Jokowi.
Pidato Jokowi itu memang tidak semonumental "I Have a Dream" Martin Luther King. Pun tidak sedahsyat pidato John F. Kennedy yang melompatkan American Dream menjadi sebuah kekuatan moral tertinggi.
Pidato itu menyeru dan mengajak seluruh rakyat untuk menghadapi pandemi yang berdampak kepada krisis multidimensi: ekonomi, sosial, budaya, pangan, kesehatan dan keamanan.
Bisa jadi krisis sekarang lebih besar dibanding sebelumnya, 1988 (Black Monday), 1998 (Krisis Asia) dan 2008 (Krisis Mortgage). IMF, dalam laporan Outlook Ekonomi Dunia baru lalu, mempersepsikan ancaman ekonomi terburuk setelah "Great Depression 1930," di mana pengangguran, kemiskinan dan kelaparan meluas.
Meski tinjauan itu dibuat dalam kerangka implementasi neoliberalisme ke negara-negara debitur seluruh dunia, menurut nalar paradigma dependensia.