Apa boleh buat, terpaksa kuhentikan pekerjaan melangsir batu. Bagaimana tidak? Ternyata pasukan pak RT amatlah lembek, tidak sesuai kesepakatan.
Pekerjaan melangsir batu itu harus terlaksana dalam dua puluh hari, agar tidak menyendatkan pekerjaan memasang dinding. Proyek pemasangan Dinding Penahan Tanah (DPT) yang longsor harus diselesaikan tepat pada waktunya.
Untuk itu Aku biasanya membawa pasukan pekerja yang sudah mengerti, bahwa proyek pemerintah harus tepat waktu.
Pada sisi lain pak RT meminta supaya warga setempat dilibatkan dalam proyek. Sebetulnya Aku kurang afdol dengan desakannya.
Menurut pengalaman, pekerja setempat cenderung berleha-leha. Sejam ngopi pada jam sepuluh pagi. Kalau istirahat sholat dan makan siang sih wajar. Tetapi setelah ashar, mereka bersantai ngopi lagi sambil membersihkan peralatan sehingga tiba kepada pukul lima sore.
Namun sekali ini Aku terpaksa menyetujui permintaan pak RT. Pertama, Ia sepakat dengan tawaranku, yakni sanggup melangsir 70 truk batu dengan harga borongan dan dalam jangka waktu tertentu.
Kedua, setengah menakut-nakuti, Ia bercerita tentang seorang warganya yang adalah preman disegani di kawasan alun-alun.
Preman yang dijuluki Tison itu, konon, residivis yang sudah tersohor di kalangan aparat. Keluar masuk bui adalah makanannya. Ia juga preman bernyali, meski pendek tetapi badannya gempal berleher beton seperti Mike Tyson.
Jika menyakiti lawannya dengan alasan apapun, maka Ia akan menusukkan ujung belati ke perut musuhnya. Tidak bakal mematikan, cukup merobek kulit perut sedalam 1 senti sepanjang 15-20 sentimeter saja.
Menyayat sedemikan, konsekuensinya akan sama saja dengan menghantamkan tangan kosong atau batu bata ke kepala lawan. Sama-sama delik penganiayaan, sama pula tempo hukumannya.
Preman itu adalah kepala geng Budat, yang sangat ditakuti oleh warga. Beberapa orang mengonfirmasi kekejamannya, kendati Aku masih penasaran dengan sosoknya.