BPS mewartakan, bahwa PDB pada triwulan II mengalami kontraksi sebesar 5,32% y-o-y dibanding triwulan II 2019 (5/8/2020). Dibandingkan kuartal lalu (q-o-q), perekonomian Indonesia menyusut 4,19%. Penyusutan ini ditandai oleh ekonom sebagai "resesi ekonomi sudah di depan mata".
Mempersepsi resesi teknikal itu, dalam konferensi pers virtual (5/8/2020) Sri Mulyani menyatakan, "Pemerintah sedang kaji untuk menyiapkan pemberian bantuan gaji kepada 13 juta pekerja yang memiliki upah di bawah Rp 5 juta." Untuk merealisasikan insentif pemerintah itu akan digelontorkan anggaran sebesar Rp 31,2 triliun.
Kebijakan yang termasuk dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) itu, bersama program bansos (sembako, Bantuan Langsung Tunai, Program Keluarga Harapan, dan Kartu Prakerja), dimaksudkan untuk meningkatkan konsumsi rumah tangga dan pertumbuhan ekonomi. Rencananya kebijakan santunan itu diluncurkan pada bulan September depan, mengawali kuartal III agar pertumbuhan ekonomi beringsut naik.
Dalam kesempatan lain, Presiden Jokowi sempat menyoroti rendahnya realisasi anggaran penanganan virus korona sebesar 20% atau Rp142 triliun. Terinformasi, sampai tanggal 06/08/2020 realisasi pencairan anggaran PEN tersebut baru mencapai 21,06% dari total pagu senilai Rp. 695,2 triliun (digambarkan dalam grafik di bawah ini).
Birokrasi pengadaan barang dan jasa membuat Kuasa Pengguna Anggaran cenderung berhati-hati. Hal ini ditengarai menjadi sebab. Pihak pemerintah juga menyebutkan, bahwa pencairan anggaran terkendala proses administrasi dan verifikasi.
Di sisi lain terdapat lesson learned, pelajaran yang diperoleh dari pengalaman penyaluran bansos, di mana terjadI permasalahan-permasalahan yang tidak dapat disepelekan.
Ombudsman telah menerima lebih dari 80% aduan terkait bansos. Saat ditutupnya posko pengaduan (31/7/2020) masuk 1.346 aduan, terdiri dari aduan tentang program sembako (52%), program BLT (42%), PKH (1,86%) dan Kartu Prakerja (2,6%).
Umumnya permasalahan di atas terkait ketimpangan data kependudukan sehingga memunculkan penyaluran yang tidak berkeadilan, prosedur dan persyaratan penerimaan yang rumit, salah sasaran, serta berbagai keraguan mengenai validitas data penerima.
Persoalan serupa bisa saja terjadi dengan penyaluran santunan bagi pegawai swasta bergaji di bawah Rp5 juta. Sayangnya, Saya belum diperoleh keterangan sahih mengenai mekanisme penyaluran bantuan tersebut.
Kemungkinan besar dalam realisasinya, pemerintah akan menggunakan basis data dari BPJS Ketenagakerjaan dan atau bukti potong pajak penghasilan (PPh pasal 21) pegawai.
Untuk perusahaan yang dikelola dengan benar, dalam arti tertib membayar iuran BPJS Ketenagakerjaan dan pemotongan pajak, dengan mudah akan didapatkan data pegawai yang berpenghasilan di bawah Rp5 juta. Namun hanya berpatokan kepada data BPJS Ketenagakerjaan dan perpajakan saja, menurut hemat Saya, akan menimbulkan kerancuan.