Lihat ke Halaman Asli

Budi Susilo

TERVERIFIKASI

Bukan Guru

Lapar Mata, Belanja Membabi-buta

Diperbarui: 2 Mei 2020   08:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar oleh photosforyou dari pixabay.com

Saat masih aktif bekerja, baik sewaktu masih "ngantor" maupun menjalankan kegiatan usaha, belanja makanan menjadi ritual menyenangkan, terutama menjelang berbuka puasa.

Kalau mencari dan belanja hidangan untuk persiapan berbuka puasa, jangan tanya keseruannya. Hampir setiap sore pada bulan ramadan asyik berburu takjil pembuka puasa. Sore itu, Keinginan hati adalah mencari minuman segar dan kudapan, sebagai pengantar untuk ngopi sambil merokok (waktu itu masih pecandu rokok).

Pilihannya adalah es kelapa muda di dekat pom bensin, bukan di dekat rumah. Padahal di sepanjang jalan menuju pom bensin, setidaknya, ada sekitar sepuluh penjual es kelapa. Dua buah kelapa muda kerok dicampur sirup gula merah beserta es batu dibungkus menjadi satu.

Di Depan kantor Dinas Sosial melihat penjual es buah legendaris yang hanya berjualan saat bulan ramadan. Maka dua bungkus es terdiri dari aneka buah warna-warni dibawa pulang.

Memutar jalan dulu ke penjual gorengan di samping kantor Kodim. Aneka gorengan: tempe berselimut tepung, bakwan (heci, bahasa orang Malang), tahu isi, pisang, buras (lontong kecil berisi oncom), ubi dan singkong dibungkus.

Dalam perjalanan pulang melihat timun suri bergelantungan di sebuah kios, nampak ranum terbelah pada beberapa bagian menandakan sudah matang. Ditebuslah buah beraroma wangi itu untuk dibawa ke rumah.

Menjelang adzan Maghrib, kendaraan bermotor meraung-raung dipacu di sepanjang jalan menuju rumah. Tiba-tiba jalan raya menjadi sirkuit Monaco, kendaraan saling bersicepat menuju rumah, atau tempat berbuka puasa bersama, atau akhirat, entahlah.

Tersendat di lampu merah dan depan SMP 1 yang disesaki oleh pembeli dan penjual hidangan pembuka puasa. Sepertinya penjual dan pembeli sama banyaknya, saya tidak terlalu perduli karena waktu buka semakin mepet.

Lepas dari keruwetan itu, kendaraan bermotor dipacu menuruti emosi, mesin meraung sampai batasnya. Suara ban berdecit-decit meninggalkan asap melibas tikungan-tikungan tak perduli orang mau menyeberang.

Tibalah saya di rumah, tepat sebelum bedug berdentam. Begitu duduk menarik nafas suara adzan terdengar dari surau-surau dan televisi. Alhamdulillah.

Setelah membaca doa berbuka puasa, saya dan anggota keluarga yang lain membatalkan puasa dengan minum air putih hangat, menyomot buras, tempe dan pisang goreng atau kudapan lainnya. Shalat Maghrib sebelum habis waktu, lalu pergi ke teras menyeruput secangkir kopi dan menghisap sebatang rokok. Kenyang. Es kelapa muda, es buah legendaris, timun suri, dan sisa gorengan yang masih banyak terhampar sia-sia di meja makan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline