Lihat ke Halaman Asli

Budi Susilo

TERVERIFIKASI

Bukan Guru

Cerpen | Ia Memanggilku "Ayy..."

Diperbarui: 27 April 2020   19:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar oleh Mabel Amber dari pixabay.com

Ia memanggilku, "ayy...", kepanjangan dari kata ayah. Sebaliknya, akupun dengan nada mesra memanggilnya, "bunda...".

Sebutan "ayah" dan "bunda" menegaskan, bahwa pelabelan itu menyatakan hal yang lebih dari sekedar sebuah pertemanan, dan sudah merupakan hubungan asmara serius antara dua insan yang tidak bisa melepaskan diri satu sama lain.

Meskipun belum diresmikan secara sah sebagai suami-istri, itupun apabila aral yang melintang dapat disingkirkan secepatnya --walaupun aku tidak tahu kapan bisanya-- kami berdua telah menjalin hubungan cinta penuh makna membara menggelora tiada tara.

Lebay? Tidak juga, namanya juga orang sedang kasmaran, apapun serasa coklat batangan tidak bertuan dapat nemu di jalan lengang.

Mengapa juga mesti diproses cepat? Karena kami, aku dan dia, sudah merasa sehati, sering ketemu, sama-sama senang bercengkrama di taman seberang kantor Kodim, kerap saling menumpahkan isi hati dan bersentuhan pipi kiri pipi kanan dengan mesra setiap kali berjumpa. Akupun sudah dikenalkan kepada orang tuanya.

Aku bertemu dengannya ketika sedang membuang pikiran yang berderak-derak seperti hendak meledakkan benak dengan berjalan-jalan di sekitar Taman Peranginan. Sebuah taman yang tidak terlalu besar di pusat kota, terletak di pinggir jalan utama, dimana dari taman tersebut bisa memandang aliran sungai Ciliwung serta lembah yang berisi perumahan kumuh.

Dalam taman yang temaram itu biasa dimanfaatkan oleh beberapa pasangan yang sedang jatuh cinta, dan aku yakin bukan pasangan suami-istri, mereka belum menjadi pasangan sah, maksudku. Lagipula kebanyakan pasangan abege yang masih terlalu muda untuk menikah.

Aku merasa sudah terlalu dewasa untuk berasyik masyuk seperti anak-anak muda itu. Aku menikmati pemandangan dan angin semilir berkeliaran pada Taman Peranginan itu.

Saat itulah kulihat seorang gadis manis terpaku membeku sendiri di bangku taman. Aku duduk di dekatnya, ia pun menggeser duduknya menjaga jarak denganku. Sebetulnya aku ingin membuka pembicaraan, namun tidak alasan kuat untuk memulainya.

Sampai kemudian seorang anak mengasonkan dagangannya, "sekalian saja, dua es potong untuk pacarnya".

Aku tergagap menjawab, "baiklah! Aku beli dua, satu untukku, satu lagi untuk pacarku".

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline