Lihat ke Halaman Asli

Budi Susilo

TERVERIFIKASI

Bukan Guru

Ternyata Turbulensi Tidak Sekali

Diperbarui: 9 April 2020   06:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar oleh Gerd Altmann dari pixabay.com

Grace is that turning point from feeling hopeless to becoming empowered.
~~Deborah Brodie~~

"Berkah rachmat (Tuhan YME) adalah titik balik dari keputus-asaan sampai bangkitnya keberdayaan", kerap terdengar dalam percakapan-percakapan motivasi berbagai skala, di warung kopi atau seminar. Namun kata-kata bijak itu akan terbang dari benak ketika sebuah keputus-asaan yang sesungguhnya melanda seseorang, dan tidak cukup sekali. Persoalan yang menyeret seseorang kepada pusaran puting beliung dalam hidupnya, lalu menghempaskannya hingga ke titik terbawah keputus-asaan, merupakan turbulensi kehidupan.

Sekian tahun lalu, saya sempat mengalami turbulensi, yang membuat sebagian kolega menyebut kemalangan tersebut sebagai: "bernasib lebih rendah dibanding sandal jepit". Pada puncaknya karir, saya memiliki kecukupan menurut ukuran pekerja kelas menengah ibukota: keluarga harmonis, rumah dan kendaraan sendiri serta mobil kantor, dan materi lainnya.

Pada pencapaian tersebut, saya tergoda (tepatnya: bernafsu) untuk mengambil-alih sebuah usaha --milik seorang pejabat tersangkut kasus korupsi-- dengan harga murah, senilai (waktu itu) 250 juta. Singkatnya, entitas usaha itu direnovasi, ditambah peralatan, dan ihwal yang sekiranya bisa meningkatkan performanya, dengan investasi tambahan sekitar 450 juta.

Tidak sampai dua tahun perusahaan itu ambruk meninggalkan banyak hutang, kendati dikelola secara profesional dan memanfaatkan segudang pengalaman mengurus bisnis serupa. Pengalaman dan pengetahuan manajerial tidak mampu menyelamatkan usaha itu dari kebangkrutan yang menyisakan kewajiban.

Tidak lama setelah usaha terkapar, muncul persoalan keluarga yang menyemburatkan isi benak. Ibarat menaiki roller coaster yang sedang menukik tajam dalam kecepatan tinggi tanpa kelihatan ujung henti.

Reaksi manusiawi adalah: serapah; berkeluh-kesah; kalut dengan menggapai ketiadaan; dan segala macam ekspresi keputus-asaan yang tersedia di perpustakaan kecewa.

Habislah semua kehebatan menurut ukuran kemanusiaan, pantaslah orang memandang posisi saya lebih rendah dibanding sandal jepit. Kemudian saya berkelana tanpa tujuan mencari penjelasan, bahkan menggugat Tuhan, tentang apa yang mendera.

Sampai bertemu dengan mas Bambang (alm.) yang pelan-pelan menuntun kearah pencerahan. Pertama dengan membuang kepercayaan terhadap dukun, orang pintar, dan mereka yang menawarkan khayal

Berikutnya beliau menularkan (ybs. tidak mengenal istilah guru-murid) ilmu kehidupan, yang notabene tersirat dalam kitab-kitab, diantaranya:

  1. Setiap manusia mengalami turbulensi kehidupan. Berat-ringannya tergantung persepsi, yang dapat merasakannya adalah diri pribadi.
  2. Besaran turbulensi tergantung besaran hutang perbuatan buruk dibanding perbuatan baik di masa lalu, yang tidak diketahui jumlahnya.
  3. Tenang, sabar dan ikhlas bersikap, ketika tenggelam dalam lautan kehidupan. Kira-kira ilustrasinya seperti ini: orang belum mahir berenang "dicemplungkan" ke kolam sedalam tiga meter, dengan tetap tenang, tegak ketika kaki menyentuh dasar. Dengan sedikit hentakan saja akan naik lalu menyembul ke permukaan air.
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline