Lihat ke Halaman Asli

Budi Susilo

TERVERIFIKASI

Bukan Guru

Matahari Seperempat

Diperbarui: 9 Maret 2020   07:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar oleh RENE RAUSCHENBERGER dari pixabay.com

Sepasang bola mata bening memancarkan rasa terimakasih yang tidak bisa dilukiskan.

Di sisinya, wanita kusam menghias wajahnya, yang dijatuhi rambut kusut masai keperakan, dengan senyum.

Pakaian yang dikenakan sepertinya telah melekat berhari-hari pada tubuh-tubuh kurus itu. Longgar dan pudar sering terpapar sinar sang surya.

Aku menghirup strawberry mojito di hadapanku segera setelah menandaskan seporsi tuna spaghetti. Sementara seorang lelaki memandang lekat sambil mencecap bibir cangkir kopi hitam kesukaannya.

"Sesuatu yang anehkah?".

"Kamu kian lama kian sedap dipandang. Aku tak akan bosan menjelajahi keindahanmu", kilat mata elang itu mengobarkan darah menjalar menghangatkan wajah dan, tentu saja, hatiku.

Mengapa juga aku mesti jatuh cinta kepada lelaki matang itu, yang membuatku terperangkap dalam pesonanya?

Barangkali karena perhatiannya yang amat memenjara. Bisa jadi oleh tampilannya yang memang dari sananya keren.

Tentang pemenuhan materi, aku tak pernah mengkhawatirkannya. Selain dari penghasilanku sendiri, lelaki metropolis mapan tersebut senantiasa memanjakanku dengan uang lebih dari cukup

Terus terang, aku jatuh hati dari pertama mengenalnya. Tutur bahasanya santun, terpelajar dan tahu persis bagaimana cara memanjakan wanita, mendayu tanpa nada merayu, apalagi berbuih-buih bak pembuat puisi.

Dulu, aku pernah mengenal seorang pria sebagai pujangga, mahir menata kata-kata yang mampu membuatku terperdaya. Kemudian aku mengerti, ia masih pontang-panting menata hidupnya sendiri.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline