Aku tidak pernah memercayai perihal klenik, seperti santet dan orang pintar. Kesaktian orang berkostum serba hitam, mistis, beraksesoris dengan nuansa magis itu menurutku hanyalah mitos belaka, cerita dari mulut ke mulut mengenai irasionalitas.
Barangkali karena aku terlahir di lingkungan keluarga yang menjunjung tinggi nalar dibanding sekedar spekulasi tidak ilmiah.
Bukan berarti tidak meyakini soal gaib, jin, setan, malaikat seperti disebut dalam kitab-kitab. Bukan! Aku cuma tidak percaya pada hal-hal tahyul seperti yang dikisahkan orang.
Kendati mulutku berbusa-busa menjelaskan alasan-alasan seperti itu kepada kawan baikku, tetapi ia tetap bersikeras. Rudolfo terus membujukku --tepatnya mengajak paksa-- untuk menemaninya ke rumah Mbah Kencono.
Orang pintar yang dikenal memiliki kemampuan supranatural itu, menurutnya, bisa melihat peristiwa masa lampau ataupun kejadian di waktu mendatang, alias bisa menerawang. Selain itu, ia mampu berkomunikasi dengan roh leluhur maupun arwah bergentayangan.
Banyak orang datang berkonsultasi meminta kelancaran urusan, misalnya pada musim pemilu.
"Anggota dewan yang kerap muncul di media adalah buktinya. Juga beberapa kepala daerah terpilih," Rudolfo meyakinkanku.
Kamipun melakukan perjalanan menemui Mbah Kencono menuju sebuah komplek perumahan di pinggiran kota.
Perumahan? Bukannya ke gubuk kayu terpencil di pucuk gunung terjal berbatu-batu beronak-duri? Atau pondok di tengah hutan bersemak-belukar tempat ular dan binatang liar bertebar dalam atmosfer dijalari kabut abu-abu lembab?
Benar! Mbah Kencono bermukim sekaligus berpraktek pada sebuah rumah tipe 54 di Pesona Permai, tak begitu jauh dari pusat kota. Rumah seperti biasa, namun beberapa perubahan telah membuatnya lebih cantik. Mungil dan asri.
Seorang pria kurus berwajah tirus bermata elang dengan kumis melintang membuka pintu pagar hitam rumah putih itu, menyambut ramah.