Indonesia dikaruniai dua musim, penghujan dan kemarau, menyuguhkan alam kaya flora-fauna, hasil mineral serta kelimpahan alam lain.
Penghujan adalah prasyarat bercocok-tanam bagi petani. Juga menyediakan hijauan untuk herbivora (binatang pemakan tumbuhan) liar dan pasokan pakan hewan bagi peternak.
Bagi manusia, buah-buahan dan hasil tanaman konsumsi di musim penghujan menjadi anugerah. Konstanta itu telah ada sejak lampau.
Kemarau adalah periode, di mana sinar matahari berpendar tanpa mendung, mengeringkan pepohonan, tumbuhan, tanah, dan air. Buah-buahan dan hasil tanaman pangan di musim kemarau juga tersedia, berbeda jenis atau memang tersimpan di lumbung pangan.
Belakangan timbul anomali iklim, setidaknya dipersepsi sebagai kejanggalan musim, jika manusia tidak mau mengakuinya sebagai dampak kecerobohannya: polusi, ketidakpeduliannya kepada alam yang berakibat kepada -salah satunya- pemanasan global.
Hujan badai berlebihan menjadi penyebab banjir. Padahal hujan badai sejak dahulu kala sudah ada.
Penebangan pohon secara serampangan, alih-fungsi hulu menjadi properti, ditimbunnya telaga sebagai fondasi perumahan, dibabatnya persawahan demi mendirikan pabrik garmen dan hilangnya empati kepada alam ditengarai sebagai sebab.
Pun, kekeringan dituduhkan kepada kemarau berkepanjangan. Padahal musim kemarau sudah given.
Gampang sekali manusia menyalahkan alam -mahluk yang senantiasa tunduk pada Sang Pencipta- lalu menafikan kekeliruannya dalam pengelolaan. Misalnya, tidak meng-konservasi air dan tumbuhan, menjaga hijauan dan sejumlah ihwal yang bisa ditulis menjadi satu artikel tersendiri.
Maka tidak terlalu mengherankan, jika setiap tahun, setiap periode, penduduk yang tinggal di negara gemah ripah loh jinawi ini selalu mengeluhkan tentang banjir, longsor dan kekeringan.
Ini bukan mengulas bencana sebagai musibah. Tetapi bagaimana menyiasati alam menggunakan akal yang sudah diberikan secara cuma-cuma.