Bulan Desember adalah tentang liburan sekolah, persisnya libur kuliah semester, dan waktunya pulang kampung. Orang tuaku pastilah senang, anak semata wayang akan lama berada di rumah setelah merantau di kota besar menuntut ilmu.
Orang-orang sedesa berduyun-duyun berkunjung dan mengagumiku sebagai anak muda beruntung yang bertambah gagah dengan cara dandanan orang kota: berkemeja necis berpantalon --tepatnya becelana jin biru-- dan bersepatu.
Sementara mereka, petani-petani, peternak-peternak dan peladang-peladang, umumnya lebih nyaman mengenakan kaos oblong bolong dan bercelana pendek, paling banter memakai celana panjang yang tak dapat dijelaskan warnanya, entah putih tua atau hitam muda serta berceker ayam.
Sebagai satu-satunya orang yang beruntung mengenyam bangku pendidikan tinggi, di kota besar pula, penampilan menjadi hal penting diperhatikan. Yang penting klimis, necis, kekinian dan berbeda dengan orang lain sedesa.
Cara berbicara pun mesti ditata rapi, sebanyak mungkin menggunakan cara berpikir njlimet ruwet penuh penalaran teoritik berbanding terbalik dengan penalaran klenik dan mistik.
Gaya bicara tertata, berpanjang-panjang kata-kata agar pendengar lugu manggut-manggut tanda supaya tidak dianggap tak mengerti. Kemudian Aku pilih kosakata yang yang banyak berakhiran "si", seperti: optimimalisasi, antagonisasi, akademisasi, revitalisasi, politisasi, melankolisasi dan segala macam terasi
Semakin mereka mengangguk seperti boneka berleher per di dasbor angkot, semakin berbuih-buih cakap anginku.
Tahi angin, alias omong kosong, demikian membuat para gadis-gadis terpesona akan cara bertuturku yang hampir serupa gaya berbual orang-orang partai dan orang-orang berseliweran di tivi. Intelek dan politis, kata mereka berbinar-binar kagum.
Salah satu gadis yang terkagum-kagum namun tidak tampak kilat bola matanya, karena seringnya menunduk, adalah wanita muda bening anak Mang Adang juragan kambing di desa kami. Mang Adang adalah tetangga sering berkaos oblong bolong dan bercelana panjang yang tak dapat dijelaskan warnanya, entah putih tua atau hitam muda, serta berceker ayam.
"Gadis manis yang bisa bertransformasi menjadi wanita cantik di kota besar, jika dimodifikasi di salon mahal" batinku (tepatnya: kosmetikasisasi bukan modifikasi!) memuja Nisa. Aku memang naksir berat kepada gadis desa jelita itu. Tongkronganku sekarang cukup menguntungkan, sudah menjadi satu-satunya yang mampu kuliah di kota besar, tampang pun kekinian serta paling mentereng sedesa.
Kedua bola mataku sontak berbinar melebar, manakala menatap lekat dua buah pepaya ranum bersemu kuning sedang dipetik oleh Nisa )*. Ada debar-debar aneh menjalari dada. Bisa jadi karena terlalu lama menyantap kota, Aku berseru dengan percaya diri kepada gadis muda berambut basah sedada dan berkemben: