Lihat ke Halaman Asli

Budi Susilo

TERVERIFIKASI

Bukan Guru

Sikap Ketika Terpelanting dari Ketinggian

Diperbarui: 15 November 2019   08:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Illustrated by Pinterest/skydiveserbia

Beberapa tahun lalu saya mengikuti seminar di Jakarta. Instrukturnya orang bule berkebangsaan Amerika Serikat. Satu analogi dikisahkannya:

Andai anda naik pesawat yang sedang terbang setinggi 3.000 kaki  --915 meter-- dari atas permukaan laut dan sedang nongkrong di pinggir pintu sedang melamun memandang keindahan alam.

Sekonyong-konyong seseorang --entah siapa-- menjerumuskan anda menjemput awan. Tidak ada tali apalagi parasut untuk menyelamatkan diri.

Gaya gravitasi akan membuat benda yang lebih berat dari tekanan angin dipastikan terjun ke bawah. Demikian pula manusia.

Tak perduli anda pejabat atau rakyat biasa, kaya atau miskin, pendosa atau alim ulama dalam kondisi demikian akan menghunjam tanah.

Pertanyaannya: "Apakah yang harus dilakukan dalam situasi tersebut?"

Jawabannya setelah cerita berikut.

Seorang kenalan mencurahkan segala isi hati. Sudah tentu berjenis kelami wanita....ehem. Isi curhatannya tentang kehidupan berumah-tangga kering kebahagiaan. Suami pemarah ringan tangan kepada istri yang mencurigai adanya wanita lain dalam kehidupan mereka.

Sebenarnya sebuah kisah klasik yang umum terjadi dalam rumah tangga dengan versi berbeda.

Saya merasa tidak enak hati mendengarnya. Menurut teori "How to become a playboy" bab III halaman  138, ketika seorang wanita milik pria lain berkeluh-kesah kepada lelaki yang bukan muhrimnya, maka jarak ranjangnya sudah sangat dekat (ini ngarang, lagian enggak ada texbook semacam itu...!).

Untunglah, tak berapa lama mereka berpisah. Curhatan atau keluhan mengenai episode kehidupan rumah tangga orang lain sudah usai didengarkan. Aman?

Berganti topik bahasan mengenai kesulitan mendera bertubi-tubi, bagaimana pontang-pantingnya ia menghidupi anak dan dirinya. Mantan suaminya tidak berkontribusi sama sekali.

Menjadi pengemudi ojek daring tak bertahan lama. Bergiat di lingkungan partai politik, habis energi untuk keuntungan parpol meninggalkan derita. Berjualan properti, fashion goods dan barang-barang lain dengan harapan mendapat komisi. Tak pernah bertahan lama.

Keluhan demi keluhan melimpah lancar dibanding penghasilannya. Telepon mendesahkan keluh-kesah berhasil membakar telinga saya, saking lamanya durasi pembicaraan melalui angin.

Memang komunikasi dibatasi hanya melalui telepon, WA dan media sosial. Saya amat sangat teramat menghindari pertemuan secara fisik, kendati wanita tersebut berharap realisasi.

Bahaya! Bisa timbul hal-hal yang sama-sama diinginkan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline